Selasa, 27 Maret 2012

Makalah Sumber Kajian Islam Al-Sunnah


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alhamdulillah pertama - tama mari kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat allah atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah diberikan kepada kita sehingga kitadapat mengikuti kajian atau diskusi bersama. Dan kepada bapak pembimbing kami mohon ma’af apabila ada kesalahan dalam menyusun makalah ini. Dan makalah ini kami ajukan untuk memenuhi tugas kami yang telah di beikan kepeda kami.
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
Sekarang timbulah setidaknya ada dua persoalan yang mendasar, yaitu;
Pertama, dapatkah Sunnah berdiri sendiri dalam menentukan hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an?; Kedua, apakah semua perbuatan Nabi Muhammad dapat berfungsi sebagai sumber hukum yang harus diikuti oleh setiap umat islam?.


Makalah yang kecil lagi tipis ini, berusaha menjelaskan sekelumit tentang kedua perkara di atas, dan juga menjelaskan adanya keterkaitan antara Al-Hadits/As-Sunnah dengan Al-Qur’an

B. Rumusan Masalah
1. Supaya kita mengerti arti atau pengertian dari pada sunnah ?
2. Kedudukan Hadits atau Sunnah?
3. Pendekatan memahami sunnah?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sunnah
Sunnah berasal dari bahas arab yang secara etimologis berrti “jalan yang biasa dilalui”atau”cara yangsenantiasa dilakukan “atau”kebiasaan yang selalu dilaksanakan”, apakah cara atau kebiasaan itu sesuai yang baik atau buruk.
Pengertian sunnah secara etimologis, dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut:
“Barangsiapa yang membasakan sesuatu yang baik, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya, dan barang siapa yang membiasakan sesuatu yang buruk, maka akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti sesudahnya.” (HR. Muslim).
Secara terminologis (dalam istilah syari’ah),sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu yaitu: ilmu hadist, ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih.
Secara etimologi, Sunnah berarti tata cara. Dalam kitab Mukhtar al-Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela. Hasbi Ash-Shiddieqy menambahkan bahwa suatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.  
Di dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai beberapa ayat yang menyebutkan kata “sunnah”. M.M. Azami menelusuri pengertian istilah “sunnah” di dalam al-Qur’an, menurutnya kata “sunnah” disebutkan dalam beberapa ayat berikut ini:
            1. Surat an-Nisa’: 26
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ 
Artinya: “Allah hendak menerangkan hukum syari’ah-Nya kepadamu dan menunjukkanmu ke jalan yang orang-orang sebelum kamu (yaitu para nabi dan orang-orang saleh), serta hendak menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 


            2. Surat al-Anfal: 38
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan perbutannya maka dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni, dan apabila mereka tetap kembali untuk melakukan perbuatan itu maka sunnah (aturan) orang-orang dahulu sudah berlaku.”    
            3. Surat al-Isra’: 77
سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا
Artinya: “(Kami menetapkan hal itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam ketetapan Kami.”
            4. Surat al-Fath: 23
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
Artinya: “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam sunnatullah itu.”
Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam al-Qur’an kata-kata “sunnah” dimaknai dengan arti secara etimologis, yaitu tata cara dan kebiasaan.
Secara terminologi, para ulama ahli hadits mendefinisikan “sunnah” sebagai sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Adapun ahli Ushul Fiqih mendefinisikan “sunnah” adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang bukan berasal dari al-Qur’an, pekerjaan, atau ketetapannya. Berbeda lagi dengan ahli fiqih yang mendefinisikan “sunnah” sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw. baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.


Orang-orang orientalis juga memberikan definisi terhadap sunnah. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa sunnah adalah istilah animisme. Ada juga yang berpendapat bahwa sunnah berarti “masalah ideal dalam suatu masyarakat”. Ada juga yang berpendapat bahwa periode-periode pertama sunnah berarti “kebiasaan” atau “hal yang menjadi tradisi masyarakat”, kemudian pada periode belakangan pengertian sunnah terbatas pada “perbuatan Nabi saw”.
Karena adanya perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian sunnah, baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud kata “sunnah” itu.
B. Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
C. Hubungan As-Sunnah Dengan Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
  1. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
  1. Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
  1. Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
D. Dapatkah As-Sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)

Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.

E. Nabi Muhammad Sebagai Sumber Sunnah
Dalam rangka menjadikan Rasulullah sebagai uswah hasanah sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas setiap muslim harus memahami betul tentang sumbernya. Sunnah Nabi adalah sumber uswah hasanah. Ia dapat diketahui melalui beberapa hal, yaitu: (1) Perkataan (Qawliyah), (2) Perbuatan (Fi’liyah), (3) Persetujuan (Taqririyah), (4) Rencana (Hammiyah), dan (5) Penghindaran (Tarkiyah).
Sunnah memiliki beberapa nama antara lain: (1) Sunnah, yang berarti tradisi, contoh, kebiasaan, (2) Hadits, yang berarti perkataan, peristiwa, baru, (3) Khabar, yang berarti berita, (4) Atsar, yang berarti bekas.
Sumber sunnah yang pertama ialah qawliyah, yakni segala perkataan yang disabdakan Rasulullah SAW yang didengar oleh sahabatnya dan disebarluaskan kepada masyarakat. Dalam kitab-kitab hadits sunnah qawliyah ini ditandai dengan kata-kata seperti Qaala, yaquwlu, qawlu, sami’tu yaquwlu.
Sumber sunnah yang kedua ialah fi’liyah, yakni perbuatan Rasulullah SAW yang dilihat oleh sahabatnya dan diceritakan kepada kaum muslimin dari kalangan tabi’in, kemudian disebarluaskan kepada generasi berikutnya hingga sampai kepada para penyusun kitab hadits. Kalimat yang biasa digunakan untuk menjelaskan sunnah fi’liyah ini adalah kaana Rasulullah (adalah Rasulullah), Ra-aytu Rasulullah (saya melihat Rasulullah).
Sumber sunnah yang ketiga ialah taqririyah, yaitu perbuatan sahabat yang diketahui Rasulullah SAW dan beliau tidak melarangnya, kemudian peristiwanya diberitakan kepada kaum muslimin.
Sumber sunnah yang keempat ialah hammiyah, yaitu rencana Rasulullah SAW, tapi belum sempat dilaksanakan
Sumber sunnah yang kelima ialah tarkiyah, yaitu suatu perbuatan yang dimungkinkan untuk diperbuat Rasulullah SAW, dan beliau memerlukannya tapi beliau sendiri tidak melakukannya.

F. Kedudukan dan Fungsi Sunnah
Telah sepakat ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa As-Sunnah merupakan hujjah dan salah satu sumber syari’at Islam
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa As-Sunnah merupakan hujjah :
Dalil Pertama: ALQUR’AN Sangat banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menunjukkan bahwa As-Sunnah merupakan hujjah. Dan ayat-ayat ini mempunyai banyak jenis, dan terkadang ayat yang satu mengandung lebih dari satu jenis atau macam.
Berikut ini kami sebutkan 5 jenis ayat-ayat Al Qur’an tersebut:
1) Yang menunjukkan wajibnya beriman kepada Nabi Muhammad
2) Yang menunjukkan bahwa Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan isi kandungan Al Qur’an Allah.
3) Yang menunjukkan wajibnya taat kepada Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam secara mutlak dan ketaatan kepadanya merupakan perwujudan ketaatan kepada Rasul kepadamu maka terimalah dia.
4) Yang menunjukkan wajibnya mengikuti serta beruswah kepada beliau r dan mengikuti sunnahnya merupakan syarat untuk meraih mahabbatullah
5) Yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kepada beliau untuk mengikuti firman-Nya dan menyampaikan seluruh wahyu serta penegasan bahwa beliau telah melaksanakan perintah tersebut dengan baik.

Dalil Kedua ALHADITS Sebagaimana Al Qur’an, dalam Al Hadits juga sangat banyak memuat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa As Sunnah merupakan hujjah. Dalil-dalil tersebut bisa diklasifikasi kanmenjadi 3 jenis:
1) Kabar yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan bahwa beliau diberikan wahyu dan apa yang beliau sampaikan merupakan syari’at Allah Ta’ala, karenanya mengamalkan As Sunnah berarti mengamalkan Al Qur’an. Dan Iman tidak akan sempurna kecuali setelah mengikuti sunnahnya dan tidak ada yang bersumber dari beliau kecuali baik danbenar.
2) Perintah beliau untuk memegang teguh sunnahnya dan larangan beliau hanya mengambil dan mengamalkan Al Qur’an tanpa As Sunnah dan mengikuti hawa nafsu serta hanya menggunakan logika belaka.
3) Perintah beliau untuk mendengarkan haditsnya, menghafalkannya, dan menyampaikannya kepada yang belum mendengarnya dan beliau menjanjikan bagi yang menyampaikannya berupa pahala yang sangat besar.
Sunnah berfungsi menopang al-Qur’an dalam menjelaskan syari’at Islam. Bentuk penopang tersebut dapat dirumuskan ke dalam tiga hal sebagai berikut:
Pertama, Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat yang mujmal, mentakhsis ayat yang umum –meskipun kekuatan sunnah dalam mentakhsis ayat al-Qur’an yang umum masih diperselisihkan ulama, dan menjelaskan ayat al-Qur’an yang nasikh dan mansukh- menurut jumhur ulama yang berpendapat adanya kemungkinan nasakh pada sebagian hukum-hukum al-Qur’an. Diantara contoh-contoh sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an adalah seperti pejelasan tentang shalat, zakat, dan lain-lainnya. Misalnya, Imam Syafi’i menganggap bahwa hadits di bawah ini
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ عَلَى اِبْنَةِ أُخْتِهَا وَلاَ اِبْنَةِ اَخِيْهَا  
Artinya: Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibi dari jurusan bapak, bibi dari jurusan ibu, kemenakannya (anak dari saudara perempuannya), dan kemenakannya (anak dari saudara laki-laki). (HR. Imam Ahmad)
Hadits ini menurut Imam Syafi’i, mentakhsis firman Allah:
وَاُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذلِكُمْ
Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS. an-Nisa’: 24)
Nampaknya Imam-imam yang lain sependapat dengan asy-Syafi’i dalam kaitannya dengan hadits tadi, mseki masih diperselisihkan tentang kekuatannya, apakah tergolong hadits ahad atau hadits masyhur.
Kedua, sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan nash al-Qur’an. Misalnya, Sunnah datang dengan membawa hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut. Di antara contoh hadits semacam ini adalah masalah li’an. Al-Qur’an telah menerangkan dengan jelas dan sempurna masalah ini, kemudian sunnah memberikan ketetapan untuk memisahkan suami-isteri itu dengan jalan perceraian. Perceraian ini mengandung hikmah, karena tsiqoh (kepercayaan) yang menjadi dasar kehidupan berumah tangga telah hilang dari suami-isteri itu.     
Ketiga, Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an, tidak pula merupakan tambahan terhadap nash al-Qur’an. Di antara contoh sunnah semacam ini adalah pelarangan memakan keledai kampung (al-humur al-ahliyah), daging binatang buas, dan  beberapa ketentuan tentang diyat.    
Dari keterangan tersebut di atas jelaslah bahwa memakai al-Qur’an saja dan meninggalkan Sunnah adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan oleh Allah maka berarti ia menerima Sunnah-sunnah Rasul-Nya serta menerima hukum-hukumnya. Begitupula orang yang menerima sunnah-sunnah rasul, ia berarti menerima perintah-perintah Allah. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam kaitannya dengan kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok (ashl) yang satu, yakni nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari’ah.
Dalam konteks ini Imam asy-Syatibi berkata: “Di dalam melakukan istinbath hukum, tidak seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur’an saja, tanpa memperhatikan pejabaran (syarah) dan penjelasannya (bayan), yaitu sunnah. Sebab di dalam al-Qur’an terdapat banyak hal yang masih global seperti keterangan tentang sholat, zakat, haji, puasa dan lain-lainnya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus menengok keterangan dari sunnah.”  
Sunnah adalah syarah bagi al-Qur`an. Tugas Rasulullah  adalah:
  1. Menyampaikan wahyu al-Qur`an:
 يَاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ [ الماءدة : 67

  1. Menjelaskan dan menerangkan wahyu al-Qur`an:
 وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهًمْ يَتَفَكَّرُوْنَ [ النحل : 44
Nabi  menjelaskan al-Qur`an itu dengan tiga cara:
  1. dengan ucapan
  2. dengan perbuatan
  3. dengan ketetapannya
oleh karena itu Allah  berfirman:
] وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُواهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا [  الحشر : 7
] مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلىَّ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا [ النساء :81
Karena itu al-Qur`an lebih membutuhkan kepada al-Sunnah daripada al-Sunnah kepada al-Qur`an, al-Sunnah itu sama kedudukannya dengan al-Qur`an dalam hal menghalalkan dan mengharamkan. Rasulullah  bersabda:
(( أَلاَ وَإِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ ))
“Ingatlah aku ini diberi al-Qur`an dan yang semisalnya bersamanya.”
(HR. Ahmad, hakim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah dan Darimi, Shahih)

G. Pendekatan Memahami Sunnah
Kadang - kadang kita menemukan beberapa hadits yang nampaknya kontradiksi antara yang satu dengan yang lainnya. Sebetulnya bila dikaji lebih mendalam, yang nampak kontradiksi itu belum tentu benar-benar berlawanan. Oleh karena itu perlu ditempuh beberapa pendekatan.
1. Pendekatan Kompromi
Pendekatan kompromi (thariqatul jam’iy) ialah suatu pendekatan dalam mencari kesimpulan hukum dari dua atau beberapa sunnah yang terlihat secara lahiriah bertentangan, dengan cara mengkom-promikannya hingga tidak berlawanan.
2. Pendekatan Nasikh wal Mansukh (yang menghapus dan yang dihapus)
Pendekatan ini berfungsi memilih hadits yang paling akhir di antara hadits yang isinya berlawanan satu sama lain. Untuk mengetahuinya tentu saja harus mempelajari tawarihul mutun atau sejarah disampaikannya hadits.
Suatu hadits itu nasikh dan mansukh diketahui dengan cara; ada penjelasan dari Rasul secara langsung, ada yang dijelaskan sahabat, ada yang ditemukan karena sejarah datangnya hadits, ada pula karena terdapat kata yang menunjukkan sebagai nasikh hadits yang sebelumnya.
a. Hadits yang menjadi nasikh karena penjelasan dari Rasul
b. Hadits yang berlawanan dan terjadi nasikh mansukh karena ada penjelasan para sahabat
c. Hadits yang berlawanan dan terjadi nasikh mansukh karena ditemukan yang mutakhir melalui sejara
3. Pendekatan Tarjih
Pendekatan yang digunakan dalam metode ini adalah dengan cara memilih mana hadits yang lebih kuat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            1) Pengertian Sunnah
Sunnah berasal dari bahas arab yang secara etimologis berrti “jalan yang biasa dilalui”atau”cara yangsenantiasa dilakukan “atau”kebiasaan yang selalu dilaksanakan”, apakah cara atau kebiasaan itu sesuai yang baik atau buruk.
            2) Nabi Muhammad Sebagai Sumber Sunnah
Dalam rangka menjadikan Rasulullah sebagai uswah hasanah—sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas—setiap muslim harus memahami betul tentang sumbernya. Sunnah Nabi adalah sumber uswah hasanah. Ia dapat diketahui melalui beberapa hal, yaitu: (1) Perkataan (Qawliyah), (2) Perbuatan (Fi’liyah), (3) Persetujuan (Taqririyah), (4) Rencana (Hammiyah), dan (5) Penghindaran (Tarkiyah).
                3) Kedudukan dan Fungsi Sunnah
Telah sepakat ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa As-Sunnah merupakan hujjah dan salah satu sumber syari’at Islam
                4) Pendekatan Memahami Sunnah
Kadang-kadang kita menemukan beberapa hadits yang nampaknya kontradiksi antara yang satu dengan yang lainnya. Sebetulnya bila dikaji lebih mendalam, yang nampak kontradiksi itu belum tentu benar-benar berlawanan. Oleh karena itu perlu ditempuh beberapa pendekatan. Diantaranya yakni :
1. Pendekatan Kompromi
2. Pendekatan Nasikh wal Mansukh (yang menghapus dan yang dihapus)
3. Pendekatan Tarjih
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:
1. Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).
2. Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
4. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an
3. Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.
Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

DAFTAR PUSTAKA

  • Romli: 1999, Muqorranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya media pratama
  • Ali, muhammad Daud, 2004, Hukum Islam. Jakarta PT Raja Grafindo Persada
  • Usman, Suparman 2000, Hukum Islam. Jakarta Gaya Media Pratama
  • Saifuddin, 2008, Beberapa Pendekatan Memahami Sunnah, Bandung : Harakatuna.
  • Al-Qur’an
  • Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka
  • Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. T.M., (1965), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang
  • Quraish, M. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan

Makalah Pluralisme

BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Sejarah membuktikan bahwa perkembangan pemikiran keislaman memiliki riwayat yang cukup panjang dan berliku. Pemikiran tersebut terus menerus berlangsung, karena proses kebudayaan masyarakat senantiasa berkembang dan semakin kompleksnya segala persoalan yang ada ditengah masyarakat. Islam sebagai agama yang diridoi Allah Swt mampu tampil adaptif terhadap realitas kehidupan sosial masyarakat, walaupun tidak sedikit terdapat benturan terhadap tatanan sosial, politik, budaya dan lain sebagainya.
Dalam konteks perkembangan pemikiran yang pluralis ini perlu untuk kita waspadai, sebab dalam perkembangan kontemporer selama ini ternyata pemikiran tersebut terdapat niatan untuk menghancurkan aqidah umat Islam melalui para intelektual muslim itu sendiri. Semoga kajian pluralisme pemikiran Islam ini, dapat memberi wawasan bagi kita dalam mewaspadai adanya gerakan-gerakan pemikiran yang plural, yang aktor penggeraknya justru oleh kalangan cendikiawan muslim untuk merusak Islam dan umat Islam. 
Pluralitas agama sekarang ini telah menjadi suatu keniscayaan dan mendesak agama - agama, untuk menghadapi dan mengubah paradigma teologinya. Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak hanya di desak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran agama - agama dan kepercayaan - kepercayaan yang lain itu. Mengembangkan
teologi agama - agama bukan tanpa kesulitan dan resiko. Tantangan internalnya adalah teologi tradisional ( Barat ) yang berakar kuat serta resistensi fundamentalisme . Secara eksternal, pluralisme agama dicurigai sebagai misi terselubung  untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus keengganan mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif, Akhirnya pada bagian refleksi, penulis mengutarakan pentingnya pluralisme agama dan dialog untuk dikembangkan guna menanggulangi masalah kemanusiaan kontemporer, menghadirkan kedamaian dan sekaligus dapat saling memperkaya kehidupan beriman dalam konteks majemuk Indonesia.
B.     RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Pluralisme
2. Pluralisme dalam kajian islam
3. Beberapa Dilema pluralisme


BAB II
PEMBAHASAN

Sejak kerasulan Muhammad Saw maka kajian mengenai ilmu pengetahuan maupun ilmu-ilmu yang lainnya mulai mendapatkan perhatian, yang sebelumnya telah meredup dan hal ini menjadi sesuatu hal yang sangat dibutuhkan dalam membangun sebuah peradaban suatu bangsa. Dengan turunnya wahyu al qur’an secara berangsur-angsur dan sebagai parnernya sunah rasulullah Saw, maka hal ini menjadikan ilmu pengetahuan semakin semarak untuk dikaji oleh kalangan umat Islam itu sendiri. Sehingga mampu melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang hingga sekarang terus mengalami perkembangan yang berdampak untuk kemaslahatan umat manusia dibumi.
Seiring dengan perluasan Islam ke berbagai negeri, ternyata ilmu-ilmu yang bernuansa Islam turut serta memperkaya khazanah intelektual muslim dengan ditandai banyaknya tokoh-tokoh Islam yang ahli dalam berbagai bidang ilmu. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan juga dipengaruhi oleh pemikiran dari kaum non muslim, sebab berbagai keilmuan maupun budaya dalam Islam dibarengi dengan ekspansinya ke berbagai wilayah. Islam mampu berinteraksi dengan budaya-budaya lokal atau budaya setempat bahkan terhadap ilmu pengetahuan selama budaya tersebut tidak menyalahi dari koridor ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. 
Pluralitas pemikiran Islam berlangsung sejak perkembangan Islam hingga abad sekarang. Namun perlu dipahami bahwa beredarnya paham pluralitas pemikiran Islam tidak selamanya memberi sumbangsih demi kejayaan dan menghidupkan Islam tetapi justru dalam masa kontemporer ini paham tersebut meresahkan umat Islam dengan memperkeruh atau mengobok-obok ajaran Islam dengan pola pemikiran yang semakin plural. Akan tetapi dari pemikiran yang plural tidak semuanya itu buruk, asalkan saja pemikiran tersebut tidak menyimpang dari hukum Islam.
1. Pengertian Pluralisme
Pluralisme berasal ari kata “plural” yang berarti kemajemukan atau keanekaragaman dan “isme” yang berarti paham, jadi pluralism adalah paham kemajemukan.
2. Pluralisme atau Kemajemukan
·        Sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia untuk menghargai adanya perbedaan masing-masing anggota masyarakat.
·        Perbedaan dipandang sebagai hak fundamental dari setiap anggota masyarakat dan menuntut anggotanya untuk menjaga, menghargai dan menumbuhkan nya

3. Pluralisme dalam kajian studi islam
·        Musa Asy’ariè sesungguhnya berbeda dengan orang lain bukanlah suatu kesalahan, apalagi kejahatan , namun sangat diperlukan.
·        Al-Qur’an mengajarkan kepada kepada kita akan penting dan perlunya memberlakukan perbedaan dan Pluralisme secara arif yaitu untuk mengenal dan belajar atas adanya perbedaan dan Pluralitas untuk saling membangun dan memperkuat saling pengertian dan tidak melihat dalam perspektif tinggi dan rendah ataupun baik dan buruknya .
·        Al-Qur’an juga menganjurkan kepada kita untuk dapat menjaga dan mengembangkan musyawarah.
·        Musyawarah yang di anjurkan adalah musyawarah yang dilakukan secara tulus dan ikhlas bukan yang basa-basi yang selama ini berkembang dalam iklim kehidupan politik yang represif yang akhirnya hanya melahirkan kesepakatan yang kosong hanya ada diatas kertas tetapi tidak dijalankan dalam aktualitas kehidupan bersama dan tidak melahirkan dampak yang mententramkan bagi kehidupan masyarakat.
Berikut kami sajikan beberapa varian pemikiran Islam yang berkembang dalam masa perkembangan Islam :
A.      Pemikiran Kalam (teologi)
Kalam atau teologi menurut Ibnu Khaldun didefinisikan sebagai ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam memper-tahankan aqidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dari dogma yang dianut kaum muslim pertama dan ortodoksi muslim.
Permasalahan yang muncul hingga terjadinya keretakan dikalangan kaum muslim sesaat ketika wafatnya Nabi Muhammad Saw ialah perkara keabsahan siapakah pengganti pemegang otoritas kekuasaan atau khalifah setelah kepergian beliau Saw.
Kemudian hingga pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, muncul isu siapakah yang lebih berhak menggantikan Nabi (khalifah) dan isu ini semakin mengemuka dan menjadi perbincangan bagi para pemuka maupun masyarakatnya. Puncaknya pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib umat Islam mengalami perpecahan dan perseteruan hingga mengalirnya darah kaum muslimin yaitu antara khalifah Ali bin Abi Thalib yang merupakan sepupu sekaligus menantu Nabi Saw dengan kubunya Muawiyah yang juga sebagai kerabat khalifah sekaligus gubernur Damaskus di masa itu.
Berlatarbelakang dari permasalahan tersebut, sekelompok umat Islam mulai berani membuat analisis mengenai kasus pembunuhan khalifah Usman bin Affan. Apakah bagi pembunuhnya berdosa ataukah tidak, analisa yang lainya mengenai perbuatan pembunuhan itu apakah pelakunya digerakkan oleh dirinya sendiri atau digerakkan oleh Tuhan. Kalangan umat Islam menduga, berawal dari persengketaan inilah yang merupakan cikal bakal tumbuhnya beberapa paham yang kita hingga sekarang yang dikenal dengan sebutan jabariyah dan qodariyah. Akibat suasana yang semakin tidak kondusif tersebut membuat kaum muslimin memutar pikirannya untuk mencarikan solusinya, hingga sampai terjadi peristiwa arbitrase yaitu upaya penyelesaian persengketaan antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah pada perang jamal dan sengketa antara khalifah Ali bin Abi Thalib Muawiyah bin Abu Sufyan
Upaya perdamaian pada perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah, ternyata upaya tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pendukung Ali bin Abi Thalib. Akibat dari tahkim itu kubu pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib terpecah, sedangkan kelompok yang memisahkan dari barisan khalifah Ali bin Abi Thalib dikenal dengan sebutan Khawarij. Khawarij yang dipelopori Abdullah bin Wahab al Rasybi, berfatwa bahwa orang yang terlibat dalam tahkim baik menyetujui bahkan melaksanakanya dinyatakan berdosa besar dan setiap yang berdosa besar dianggap tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia dihukumi kafir. Persoalan penentuan kafir maupun tidak kafir sudah masuk ranah aqidah bukan sekadar persoalan politik. Karena timbulnya keresahan akibat fatwa golongan khawarij, maka sebagian umat Islam yang lain secara tegas menolaknya, dengan argumentasi bahwa fatwa tersebut tidak dilandasi nash dalam al qur’an maupun sunah maka kepastian hukumya ditunda dahulu dan diserahkan kepada Allah di negeri akhirat kelak. Disamping itu muncul reaksi lain yang memberikan dukungan kepada khalifah Ali bin Abi Thalib bahkan secara berlebihan mereka mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib, kelompok ini dikenal dengan nama golongan Syiah. Bermula dari analisa-analisa pemikiran tersebut hingga terlahirlah banyak corak aliran kalam dalam Islam. Dapat disimpulkan bahwa faktor politik cukup dominan dalam mempengaruhi munculnya pluralitas pada ilmu kalam.

B.      Pemikiran Fiqih
Islam merupakan agama konstitusi yang mampu mengatur kehidupan umat manusia, dan hal ini tidak dimiliki oleh pedoman kitab-kitab lain yang ada di dunia. Islam ajarannya menuntut untuk ditegakkanya keadilam sosial masyarakat. Oleh sebab itu, dengan banyak permasalahan yang muncul di tengah-tengah kehidupan manusia, sehingga ajaran Islam melalui cabang ilmu fiqihnya mempunyai peranan cukup penting dalam memberikan solusi yang timbul di masyarakat.
Pada masa rasulullah Saw segala permasalahan yang muncul dan belum diketahui jawabanya maka kepastian jawaban sebagai alternatif solusinya dapat langsung ditanyakan kepada baginda rasulullah Saw. Sepeninggal beliau wilayah Islam terus mengalami perkembangan melalui ekspansi ke berbagai penjuru dunia, sehingga hal ini tentunya semakin banyaknya persoalan yang cukup rumit yang ditemui oleh umat Islam. Dengan demikian, tokoh-tokoh Islam dituntut pemikiranya dalam menghadapi segala persoalan yang ada, dengan kembali kepada al-qur’an dan sunah hingga melakukan ijtihad.
Pemikiran ilmu fiqih sebagai klasifikasinya dalam mengatur perilaku kehidupan umat manusia. Sebagai contohnya, hukum ibadah mengatur hubungan antar individu dengan Allah Swt. Hukum keluarga mengatur antar individu dengan individu dalam keluarga. Hukum kebendaan dan kewarisan mengatur hubungan antar individu dengan dalam hal kebendaan, komunitas dan Negara. Hukum perkawinan mengatur hubungan antara individu dengan individu untuk melindungi kehormatan dan keturunan. Hukum pidana mengatur lalulintas antarhubungan yang menjamin kemanan dan ketertiban masyarakat dan bernegara melalui sistem sanksi. Hukum tata negara mengatur hubungan dan tata cara pengaturan Negara, pemerintahan, hubungan antar negara dan bangsa.
Fiqih yang merupakan bagian dari hukum Islam senantiasa dinamis dalam perkembangnya hingga masa sekarang dan banyak para ulama yang berperan di dalamnya. Peran ulama dalam menyelesaikan persoalan yang muncul di wilayah satu dengan lainyapun beragam bentuknya, hal ini dengan mempertimbangkan kondisi yang berkembang di salah satu wilayah dimana ulama itu tinggal. Sebab itu, tidak heran jika banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama itu. Walaupun banyaknya ragam pendapat, para ulama/dengan mazhabnya sangat toleran dan saling menghargai. Misalnya Imam Syafi’I menyatakan: “pendapat saya benar, tapi mungkin juga salah. Sebaliknya pendapat orang lain salah, tapi bisa juga benar.
Secara umum, perkembangan pemikiran dalam bidang fiqih terbagi dalam beberapa tahapan yaitu:
ü      Tahap pertama adalah pembentukan yang dimulai pada masa kerasulan Muhammad Saw, masa khufa’ur rasyidin, hingga paruh pertama abad Hijriah.
ü      Tahap kedua adalah masa pembentukan fiqih yang dimulai pada paruh pertama abad 1 H Hingga awal abad ke 2 H. Tahap ini fiqih terpola melalui mazhab.
ü      Tahap ketiga adalah pematangan bentuk yang dimulai sejak awal abad 2H hingga pertengahan abad 4H. Masa ini, ijtihad dalam bentuk fiqih dikodifikasi dan dilengakpi dengan ilmu ushul fiqih.
ü      Tahap keempat adalah masa kemunduran fiqih yang ditandai oleh dua peristiwa penting jatuhnya Baghdad dan ditutupnya pintu ijtihad oleh para ulama.
ü      Tahap kelima adalah munculnya kesadaran akan pentingnya kitab hukum Islam yang mudah dioperasionalkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan Negara.

C.      Pemikiran Filsafat
Filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam disini bukanlah filsafat, yang dipahami adalah sistem rasional pemahaman dan wahyu atau agama dipahami secara totalitas. Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam melalui filsafat yunani yang dijumpai ahli-ahli fiqih Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir, seiring dengan ekspansi Alexander yang Agung keTimur pada abad ke IV SM.
Eksistensi filsafat sebagai bagian yang sah dalam Islam terdapat varian yang beragam pandangan. Bahkan keberadaanya justru seringkali dicurigai hingga dimusuhi, karena dianggap sebagai saingan agama. Fazlur rahman berpendapat “filsafat bukanlah saingan agama atau teologi, sebagaimana yang digencarkan oleh kelompok revivalisme atau ortodoksi Islam. Filsafat pasti berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia berdasarkan  al-qur’an dengan bantuan alat-alat intelektual yang separonya disediakan oleh filsafat”.
Tradisi berfikir filsafat yang kuat dalam Islam telah menghantarkan umat Islam memasuki keemasanya sebagai pusat peradaban dunia selama berabad-abad. Dengan landasan keyakinan yang kuat terhadap kebenaran ajaran Islam menjadikan umat Islam masa itu tidak takut terhadap jenis pemikiran yang bagaimanapun liarnya.
Peranan pemikiran filsafat dalam Islam terbukti mampu membangkitkan dan menghidupan Islam dengan kejayaan dan berhasil membangun sebuah peradaban yang cukup cemerlang hingga dikenang sepanjang zaman. Eksistensi filsafat dalam Islam menggugah para tokoh atau ulama Islam terinspirasi dan termotivasi untuk mempelajari dan mengembangkanya hingga banyak sekali karya-karya yang berhasil ditemukan dan diciptakan. Berbagai karya dari para filsuf-filsuf kenamaan tersebut diantaranya ialah :
o      Al-Kindi bukan hanya sebagai filsuf tetapi juga ilmuan yang menguasai ilmu-imu pengetahuan pada zamanya. Karya-karyanya antara lain: matematika, geometri, astronomi, pharmacology, ilmu hitung, ilmu jiwa, optik, politik, musik dan sebagainya.
o       Al-Farabi, menulis buku mengenai ilmu manthiq, ilmu politik, etika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, matematika, kimia, musik dan sebagainya.

D.      Tasawuf
Tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realistis dan kebahagiaan rohaniah. Secara singkat tasawuf adalah moral, moral adalah jiwa agama.
Tasawuf merupakan yang terdiri atas kondisi dan maqam-maqam, yang satu sama lain saling merupakan anak tangga. Orang yang ingin menjadi sufi memulai langkah dengan membersihkan jiwanya, agar bisa mejadi orang yang berhak menerima penampakan (tajalli), selalu meningkat hingga dapat merasakan adanya Allah direlung jiwanya dan demikian dekat dengan-Nya.

Demikianlah ulasan global mengenai pluralitas pemikiran Islam yang berkembang dimasa-masa perkembangan dan kejayaan Islam hingga abad sekarang. Adapun perkembangan pluralitas pemikiran Islam dewasa ini justru eksistensinya membahayakan umat Islam di belahan dunia. Karena kebebasan berfikir yang plural menjadikan tatanan syariat dan hukum Islam cenderung diotak-atik menurut seleranya sendiri-sendiri. Sebagai misal, umat Islam diminta untuk toleran dalam peribadatan kaum non-muslim dengan sama-sama merayakan hari besar mereka (natal), terbitnya buku fiqih lintas agama, mengubah tata cara dalam beribadah dan lain sebagainya. Pemikiran yang semacam ini tentunya harus diwaspadai dan dieliminir keberadaannya agar tidak merusak aqidah dan syariat Islam. 


4. Islam dan Tantangan Pluralisme agama
1. Perkembangan spiritual dan materitual
a. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah untuk membuat umat manusia menjadi satu komunitas tetapi Allah memberi Rahmat dengan Pluralisme dengan menambah kekayaan dan keberagaman hidup
b. Setiap komunitas mempunyai jalan hidup kebiasaan tradisi dan hukumnya sendiri dan semua hukum dan cara hidup itu haruslah menjamin perkembangan dan memperkaya hidup walaupun berbeda satu sama lain.
c. Allah tidak memaksakan satu hukum untuk semuanya dan sebaliknya menciptakan banyak pluralitas.
d. Allah tidak menciptakan banyak pluralitas dengan sesuatu tujuan yaitu untuk menguji umat manusia atas apa yang telah diberikan kepada mereka (misalnya perbedaan kitab suci, hukum, dan jalan hidup). Tujuan itu adalah untuk hidup secara damai dan harmonis sesuai kehendah Allah. Perbedaan hukum dan jalan hendahnya tidak menjadi penyebab ketidakharmonisan dan perbedaan yang diharapkan dari manusia adalah hidup degan segala perbedaan & berlomba-lomba satu sama lain dalam amal kebaikan.
2. Menghormati tempat-tempat ibadah
Sebagai konsekuensi semua tempat ibadah harus dihormati dan dilindungi, al-Qur’an menyebutkan bahwa di dalam tempat-tempat ibadah baik itu gereja, tempat ibadah orang yahudi atau masjid banyak disebut nama Allah. Bagian yang paling konkrit & signifikan. Tidak ada tempat ibadah agama yang lebih istimewa.
3. Civil society yang Pluralis
Islam betul-betul berupaya mengembangkan civil society yang pluralis dan menjamin martabat dan kebebasan setiap orang
Karena teori-teori ini self contradiction dan reduksionisme yang pada dirinya akhirnya berseberangan dengan tujuan yang semula direncanakan bukannya toleran tapi malah berubah menjadi intoleran dan bengis terhadap perbedaan agama lebih dari itu teori cenderung mengeliminasi dan menekan “kelainan yang lain-lain” (the otherness of the others). Tren-tren pluralism agama lebih merupakan ‘masalah’ baru daripada sebuah solusi

5. Pluralism ditilik dari nalar kritis dan historis
·        Fenomena pluralitas agama telah banyak menyita perhatian para teolog, filosof, pemikir, budayawan, akademisi dan kaum cerdik-cendekiawan
·        Solusi yang ditawarkan oleh kaum pluralis muslim atas isu kemajemukan tentu saja tampak menarik, meyakinkan dan promising namun kajian yang kritis dan mendalam terhadap argument dan nalar yang dikembangkan menunjukkan adanya kelemahan yang sangat mendasar, baik dari segi metodeologi maupun subtansi, diantaranya :
a. Inkonsistensi
b. Reduksi
kerancuan nalar kritis pluralism agama Menurut Jonh Hick ada 2 hal:
a. Gagasan pluralism agama tidak monolitik, dalam pengertian terdapat pluralitas dalam pluralisme agama.
b. Pluralism memang meniscayakan keragaman dan divercity bukan persamaan namun perbedaan itu bukan saling dibenturkan melainkan dimaknai sebagai desain Ilahi dan kebjakan social sehingga memunculkan sifat inklusif dan apresiasif.
  • Dalam al-Qur’an ada 3 sikap terhadap non muslim:
a. Positif
b. Netral
c. Negative
  • Pernyataan pluralitas masyarakat, masing-masing agama hidup dalam splendid isolution (keterasingan sempurna) dan different tolerance (toleransi acuh tak acuh) belum beranjak ketingkat meet each other to learn from and help each other (bertemu untuk belajar dan menolong satu sama lain) sehingga sangat mudah di manfaatkan kelompok-kelompok kepentingan untuk mewujudkan ambisi-ambisi politik social.
  • Umat beragama belum melakukan learn from and help each other biasanya cenderung eksklusif dan memandang hubungan antar agama dengan kacamata “superior” dan “inferior”



6. Dari Pluralism ke Dialog Agama
1. Islam dan Pluralisme
Kesamaan pandangan mengenai pluralism yakni menerima keragaman sebagai fakta sejarah dan social. Dekage terakhir gagasan-gagasan yang memihak dialog dan pluralisme agam mulai mendapat perhatian. Pemikiran muslim modernis dan liberal menganggap pluralism sebagai bagian dari desain dari Ilahi dank arena itu melambang kekayaan.
2. Komitmen Dialog
Untuk dapat mengakui, mentolelir, mempertahankan dan bahkan mendorong pluralism agama, seseorang tidak perlu meninggalkan komitmennya terhadap agamanya sendiri. Secara pskologis tanpa komitmen dan loyalitas, kita tidak akan bisa mengartikulasikan secara bermakna perihal religious personality atau religious community. Perbicaraan tentang pluralitas dan dialog agama akan sangat berarti apabiala terjadi dikalangan orang-orang yang punya komitmen
7. Model Dialog Antar Agama
1. Signifikansi dialog
Paradigma keagamaan telah terpatri dan teraplikasi dalam kehidupan beragama, maka model dialog agama yang dianggap sesuai karakter dan sosio cultural masyarakat setempat dapat dilalui dalam sebuah musyawarah dan kesepakatan bersama antar mereka yang berbeda agama.
2. Model dialog
Muhammad Jafar menegaskan 3 model dialog :
1. Parliamentary dialogue (dialog parlementer)
2. Institutional dialogue (dioalog kelembagaan)
3. Dialogue in community (dialog dalam masyarakat) dan dialog oflife (dialog kehidupan)
Muhtadin menawarkan suatu pendekatan cultural sebagai mekanisme dialog agama yang sangat penting dan lebih mengena.


8. Dilemma Pluralism Dan Dialog Agama
1. Terkesan elitis
Dalam lingkup yang lebih luas, gagasan pluralism dan inklusivisme hendaknya dikembangkan sebagai wacana public melalui intensifikasi pnyelenggara ekskusi, seminar dsb guna mengenalkan identitas agama-agama dan alirannya dengan perspektif wawasan yang lebih terbuka dan tidak fanatic.
2. Bias politik
Kerukunan dan persaudaraan antar agama seringkali tercabik oleh perbedaan orientas politik tokoh-tokok keagamaan
Intergritas Dialog Antar Agama
·        Hal positif dari aktivitas dialog lintas agama
1. Berkumpulnya orang-orang dari berbagai keyakinan yang berbeda dan tumbuhnya semangat persahabatan, dan saling percaya dikalangan masyarakat yang semula mempunyai pandangan negative bahkan permusuhan satu sama lain.
2. Berkembangnya bentuk kesarjanaan yang lebih simpatik dan bersahabat tentang islam, terutama dalam lingkungan academia Kristen barat.
3. Lompatan metodelogis dalam studi agama-agama.
9. Tantangan
Tantangan yang kita hadapi bukan bagaimana menyelamatkan agama dari keaneragaman teologi, misi, dan tradisi, melainkan bagaimana membangun komitmen menghargai perbedaan itu. Al-Qur’an sendiri hanya menganjurkan agar kita mencari-cari titik temu (kalimatun sawa’), bukan menyeragamkan perbedaan dalam teologi, ritual ataupun institusi, sebab keragaman itu memang desain Ilahi,
10. Agama dan Perbedaan
Kultur perdamaian dapat tumbuh, berkembang, dan membawa kita kepada masa depan yang lebih baik. kita memang menaruh harapan besar bahwa diaolog lintas agama akan memberi kontribusi signifikan terhadap pembentukan kultur perdamaian. Munculnya sejumlah gerakan social yang berjuang untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan damai

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1.      Pluralitas pemikiran Islam berlangsung semenjak perkembangan Islam hingga abad sekarang. Namun perlu dipahami bahwa beredarnya paham pluralitas pemikiran Islam tidak selamanya memberi sumbangsih demi kejayaan dan menghidupkan Islam tetapi justru dalam masa kontemporer ini paham tersebut meresahkan umat Islam dengan memperkeruh atau mengobok-obok ajaran Islam dengan pola pemikiran yang semakin plural.
2.      Akibat ekspansi umat Islam ke beberapa wilayah menuntut para ulama fiqih untuk berfikir mencari solusi dari persoalan yang muncul. Sedangkan, fiqih yang merupakan bagian dari hukum Islam senantiasa dinamis dalam perkembanganya hingga masa sekarang dan banyak para ulama yang berperan di dalamnya. Peran ulama dalam menyelesaikan persoalan yang muncul di wilayah satu dengan lainyapun beragam bentuknya, hal ini dengan mempertimbangkan kondisi yang berkembang di salah satu wilayah dimana ulama itu tinggal. Sebab itu, tidak heran jika banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama itu. Walaupun banyaknya ragam pendapat, para ulama dengan mazhabnya sangat toleran dan saling menghargai.
3.      Filasafat memberikan kontribusi penting dalam membawa Islam kemasa kejayaan dengan ditandai terbangunya sebuah peradaban yang besar dan mengagumkan.
4.      Tasawuf selaras dengan ajaran Islam mengenai penanaman pentingnya moralitas pada jiwa manusia.
5.     Perkembangan paham pluralitas pemikiran Islam dewasa ini justru eksistensinya membahayakan aqidah umat Islam di belahan dunia. Karena kebebasan berfikir yang plural menjadikan tatanan syariat dan hukum Islam cenderung diotak-atik menurut seleranya sendiri-sendiri. Hal ini patut untuk waspadai dan dieliminir keberadaan ajarannya.

DAFTAR PUSTAKA


Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Crisis in the Muslim Mind, 1st Edition. Herndon, Virginia: IIIT,  1983.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Islamization of Knowledge General Principles and Work Plan. Herndon, Virginia: IIIT,  1989.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd Edition. Herndon, Virginia: IIIT,  1994.
Anwar, Syamsul. “Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia. Yogyakarta: FSHI Fak. Syari’ah, 1994.
Anwar, Syamsul. “Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh”. Makalah Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, 28 Agustus, 2002
Anwar, Syamsul. “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrofiq (ed.), Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Usul Fiqh Komtemporer. Yogyakarta: Pustaka Ar-Ruz, 2002.
     Karim, Reza. 1974, 2. Arab Jatir Itihash. Dhaka. Bangla Academy.
     Khaldun, Ibn. 2001. Muqaddimah. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus.
   Rahman, Fazlur. 1985, Islam and Modernity: Transformation and Intelektual Tradirion, Terj.       
               Ahsin Muhammad, Bandung,  Pustaka.
     Wijdan Dkk, Aden. 2007, Pemikiran dan Peradaban Islam, Safirian Insan Press, Yogyakarta.