BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alhamdulillah pertama - tama mari kita panjatkan puja
dan puji syukur kehadirat allah atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah
diberikan kepada kita sehingga kitadapat mengikuti kajian atau diskusi bersama.
Dan kepada bapak pembimbing kami mohon ma’af apabila ada kesalahan dalam
menyusun makalah ini. Dan makalah ini kami ajukan untuk memenuhi tugas kami
yang telah di beikan kepeda kami.
Secara bahasa, hadits
dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum
Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad
SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi
pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan
dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang
berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”.
Beranjak dari
pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits
dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum
primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau
perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an
membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali
dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan
Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah peran dan
kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan
menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
Sekarang timbulah
setidaknya ada dua persoalan yang mendasar, yaitu;
Pertama, dapatkah Sunnah berdiri
sendiri dalam menentukan hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an?; Kedua,
apakah semua perbuatan Nabi Muhammad dapat berfungsi sebagai sumber hukum
yang harus diikuti oleh setiap umat islam?.
Makalah yang kecil lagi tipis ini, berusaha menjelaskan
sekelumit tentang kedua perkara di atas, dan juga menjelaskan adanya
keterkaitan antara Al-Hadits/As-Sunnah dengan Al-Qur’an
B. Rumusan Masalah
1. Supaya kita mengerti arti atau pengertian dari pada sunnah
?
2. Kedudukan Hadits atau Sunnah?
3. Pendekatan memahami sunnah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Sunnah
Sunnah berasal dari bahas arab yang secara etimologis
berrti “jalan yang biasa dilalui”atau”cara yangsenantiasa dilakukan
“atau”kebiasaan yang selalu dilaksanakan”, apakah cara atau kebiasaan itu
sesuai yang baik atau buruk.
Pengertian sunnah secara etimologis, dapat ditemukan
dalam sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut:
“Barangsiapa yang membasakan sesuatu yang baik, maka
ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya, dan
barang siapa yang membiasakan sesuatu yang buruk, maka akan menanggung dosanya
dan dosa orang-orang yang mengikuti sesudahnya.” (HR. Muslim).
Secara terminologis (dalam istilah syari’ah),sunnah
bisa dilihat dari tiga bidang ilmu yaitu: ilmu hadist, ilmu fiqih dan ilmu
ushul fiqih.
Secara etimologi, Sunnah berarti tata cara. Dalam kitab Mukhtar
al-Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan
tingkah laku atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela. Hasbi
Ash-Shiddieqy menambahkan
bahwa suatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.
Di dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai beberapa ayat
yang menyebutkan kata “sunnah”. M.M. Azami menelusuri
pengertian istilah “sunnah” di dalam al-Qur’an, menurutnya kata “sunnah”
disebutkan dalam beberapa ayat berikut ini:
1. Surat an-Nisa’: 26
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ
وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ
عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Allah
hendak menerangkan hukum syari’ah-Nya kepadamu dan menunjukkanmu ke jalan yang
orang-orang sebelum kamu (yaitu para nabi dan orang-orang saleh), serta hendak
menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
2. Surat al-Anfal: 38
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا
يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ
الْأَوَّلِينَ
Artinya: “Katakanlah
(wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan
perbutannya maka dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni, dan apabila
mereka tetap kembali untuk melakukan perbuatan itu maka sunnah (aturan)
orang-orang dahulu sudah berlaku.”
3. Surat al-Isra’: 77
سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ
رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا
Artinya: “(Kami
menetapkan hal itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami
utus sebelum kamu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam ketetapan
Kami.”
4. Surat al-Fath: 23
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ
وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
Artinya: “Sebagai
suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu tidak akan
menemukan perubahan dalam sunnatullah itu.”
Dari
ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam al-Qur’an kata-kata
“sunnah” dimaknai dengan arti secara etimologis, yaitu tata cara dan kebiasaan.
Secara
terminologi, para ulama ahli hadits mendefinisikan “sunnah” sebagai sabda,
pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi
Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Adapun ahli Ushul
Fiqih mendefinisikan “sunnah” adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang bukan
berasal dari al-Qur’an, pekerjaan, atau ketetapannya. Berbeda lagi dengan ahli
fiqih yang mendefinisikan “sunnah” sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi
Muhammad saw. baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib
dikerjakan.
Orang-orang
orientalis juga memberikan definisi terhadap sunnah. Diantara mereka ada yang
berpendapat bahwa sunnah adalah istilah animisme. Ada juga yang berpendapat
bahwa sunnah berarti “masalah ideal dalam suatu masyarakat”. Ada juga yang
berpendapat bahwa periode-periode pertama sunnah berarti “kebiasaan” atau “hal
yang menjadi tradisi masyarakat”, kemudian pada periode belakangan pengertian
sunnah terbatas pada “perbuatan Nabi saw”.
Karena
adanya perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian sunnah, baik secara
etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari perbedaan-perbedaan
itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud kata “sunnah” itu.
B. Dasar Alasan Sunnah Sebagai
Sumber Hukum
Sunnah
adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah
Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber
hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan
sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber
hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat
Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran
Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara
lain sebagai berikut:
1. Setiap Mu’min harus taat
kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59,
Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh kepada Rasul berarti
patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah
akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah
adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan
lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di
perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi)
suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak
dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak
berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan
kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan
ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam
hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan
secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan
kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi
makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak
mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran
tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu
akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
C. Hubungan As-Sunnah Dengan
Al-Qur’an
Dalam
hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir,
pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila
disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah
sebagai berikut :
- Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan
ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu
kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat)
adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu :
“Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni
manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat
Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
- Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah
berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits
yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena
melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat
Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
- Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan
maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah
tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah
dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat
at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan
mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah
mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para
sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya
kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
D. Dapatkah As-Sunnah Berdiri
Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam
pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan
tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas
suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun
demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang
menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa
dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang
menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang
menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah,
sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran),
ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau
persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan
keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap
Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud
Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas
dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya
dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai
dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya,
dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa
fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan
Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan
(mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu
menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”
(An-Nahl: 44)
Maka
apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski
secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami
alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya
kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak
berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan
keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada
atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya
membahas.
Seperti
dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena
ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah
sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara
umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut
tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya
atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih
banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit
untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan
global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak
yang pertama.
E. Nabi Muhammad Sebagai Sumber Sunnah
Dalam rangka menjadikan Rasulullah sebagai uswah
hasanah sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas setiap muslim harus memahami
betul tentang sumbernya. Sunnah Nabi adalah sumber uswah hasanah. Ia dapat
diketahui melalui beberapa hal, yaitu: (1) Perkataan (Qawliyah), (2) Perbuatan
(Fi’liyah), (3) Persetujuan (Taqririyah), (4) Rencana (Hammiyah), dan (5)
Penghindaran (Tarkiyah).
Sunnah memiliki beberapa nama antara lain: (1) Sunnah,
yang berarti tradisi, contoh, kebiasaan, (2) Hadits, yang berarti perkataan,
peristiwa, baru, (3) Khabar, yang berarti berita, (4) Atsar, yang berarti
bekas.
Sumber sunnah yang pertama ialah qawliyah, yakni
segala perkataan yang disabdakan Rasulullah SAW yang didengar oleh sahabatnya
dan disebarluaskan kepada masyarakat. Dalam kitab-kitab hadits sunnah qawliyah
ini ditandai dengan kata-kata seperti Qaala, yaquwlu, qawlu, sami’tu yaquwlu.
Sumber sunnah yang kedua ialah fi’liyah, yakni
perbuatan Rasulullah SAW yang dilihat oleh sahabatnya dan diceritakan kepada
kaum muslimin dari kalangan tabi’in, kemudian disebarluaskan kepada generasi
berikutnya hingga sampai kepada para penyusun kitab hadits. Kalimat yang biasa
digunakan untuk menjelaskan sunnah fi’liyah ini adalah kaana Rasulullah (adalah
Rasulullah), Ra-aytu Rasulullah (saya melihat Rasulullah).
Sumber sunnah yang ketiga ialah taqririyah, yaitu
perbuatan sahabat yang diketahui Rasulullah SAW dan beliau tidak melarangnya,
kemudian peristiwanya diberitakan kepada kaum muslimin.
Sumber sunnah yang keempat ialah hammiyah, yaitu
rencana Rasulullah SAW, tapi belum sempat dilaksanakan
Sumber sunnah yang kelima ialah tarkiyah, yaitu suatu
perbuatan yang dimungkinkan untuk diperbuat Rasulullah SAW, dan beliau
memerlukannya tapi beliau sendiri tidak melakukannya.
F. Kedudukan dan Fungsi Sunnah
Telah sepakat ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa
As-Sunnah merupakan hujjah dan salah satu sumber syari’at Islam
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa As-Sunnah
merupakan hujjah :
Dalil Pertama: ALQUR’AN Sangat banyak ayat-ayat dalam
Al Qur’an yang menunjukkan bahwa As-Sunnah merupakan hujjah. Dan ayat-ayat ini
mempunyai banyak jenis, dan terkadang ayat yang satu mengandung lebih dari satu
jenis atau macam.
Berikut ini kami sebutkan 5 jenis ayat-ayat Al Qur’an
tersebut:
1) Yang menunjukkan wajibnya beriman kepada Nabi
Muhammad
2) Yang menunjukkan bahwa Rosulullah
Shallallhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan isi kandungan Al Qur’an Allah.
3) Yang menunjukkan wajibnya taat kepada
Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam secara mutlak dan ketaatan kepadanya
merupakan perwujudan ketaatan kepada Rasul kepadamu maka terimalah dia.
4) Yang menunjukkan wajibnya mengikuti
serta beruswah kepada beliau r dan mengikuti sunnahnya merupakan syarat untuk
meraih mahabbatullah
5) Yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala
memerintahkan kepada beliau untuk mengikuti firman-Nya dan menyampaikan seluruh
wahyu serta penegasan bahwa beliau telah melaksanakan perintah tersebut dengan
baik.
Dalil Kedua ALHADITS Sebagaimana Al Qur’an, dalam Al
Hadits juga sangat banyak memuat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa As Sunnah
merupakan hujjah. Dalil-dalil tersebut bisa diklasifikasi kanmenjadi 3 jenis:
1) Kabar yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam
sampaikan bahwa beliau diberikan wahyu dan apa yang beliau sampaikan merupakan
syari’at Allah Ta’ala, karenanya mengamalkan As Sunnah berarti mengamalkan Al
Qur’an. Dan Iman tidak akan sempurna kecuali setelah mengikuti sunnahnya dan
tidak ada yang bersumber dari beliau kecuali baik danbenar.
2) Perintah beliau untuk memegang teguh
sunnahnya dan larangan beliau hanya mengambil dan mengamalkan Al Qur’an tanpa
As Sunnah dan mengikuti hawa nafsu serta hanya menggunakan logika belaka.
3) Perintah beliau untuk mendengarkan
haditsnya, menghafalkannya, dan menyampaikannya kepada yang belum mendengarnya
dan beliau menjanjikan bagi yang menyampaikannya berupa pahala yang sangat
besar.
Sunnah
berfungsi menopang al-Qur’an dalam menjelaskan syari’at Islam. Bentuk penopang
tersebut dapat dirumuskan ke dalam tiga hal sebagai berikut:
Pertama,
Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat yang mujmal,
mentakhsis ayat yang umum –meskipun kekuatan sunnah dalam mentakhsis ayat
al-Qur’an yang umum masih diperselisihkan ulama, dan menjelaskan ayat al-Qur’an
yang nasikh dan mansukh- menurut jumhur ulama yang berpendapat adanya
kemungkinan nasakh pada sebagian hukum-hukum al-Qur’an. Diantara contoh-contoh
sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an adalah seperti
pejelasan tentang shalat, zakat, dan lain-lainnya. Misalnya, Imam Syafi’i
menganggap bahwa hadits di bawah ini
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا
وَلاَ عَلَى اِبْنَةِ أُخْتِهَا وَلاَ اِبْنَةِ اَخِيْهَا
Artinya: Tidak
boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibi dari jurusan bapak, bibi
dari jurusan ibu, kemenakannya (anak dari saudara perempuannya), dan
kemenakannya (anak dari saudara laki-laki). (HR. Imam Ahmad)
Hadits ini menurut Imam
Syafi’i, mentakhsis firman Allah:
وَاُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذلِكُمْ
Artinya: Dan
dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS. an-Nisa’: 24)
Nampaknya
Imam-imam yang lain sependapat dengan asy-Syafi’i dalam kaitannya dengan hadits
tadi, mseki masih diperselisihkan tentang kekuatannya, apakah tergolong hadits
ahad atau hadits masyhur.
Kedua,
sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah
ditetapkan nash al-Qur’an. Misalnya, Sunnah datang dengan membawa hukum-hukum
tambahan yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut. Di antara
contoh hadits semacam ini adalah masalah li’an. Al-Qur’an telah
menerangkan dengan jelas dan sempurna masalah ini, kemudian sunnah memberikan
ketetapan untuk memisahkan suami-isteri itu dengan jalan perceraian. Perceraian
ini mengandung hikmah, karena tsiqoh (kepercayaan) yang menjadi dasar kehidupan
berumah tangga telah hilang dari suami-isteri itu.
Ketiga,
Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an, tidak
pula merupakan tambahan terhadap nash al-Qur’an. Di antara contoh sunnah
semacam ini adalah pelarangan memakan keledai kampung (al-humur al-ahliyah),
daging binatang buas, dan beberapa ketentuan tentang diyat.
Dari
keterangan tersebut di atas jelaslah bahwa memakai al-Qur’an saja dan
meninggalkan Sunnah adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan.
Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum
yang diwajibkan oleh Allah maka berarti ia menerima Sunnah-sunnah Rasul-Nya
serta menerima hukum-hukumnya. Begitupula orang yang menerima sunnah-sunnah
rasul, ia berarti menerima perintah-perintah Allah. Keduanya merupakan satu
kesatuan dalam kaitannya dengan kepentingan istidlal dan dipandang sebagai
sumber pokok (ashl) yang satu, yakni nash. Keduanya saling menopang
secara sempurna dalam menjelaskan syari’ah.
Dalam
konteks ini Imam asy-Syatibi berkata: “Di dalam melakukan istinbath hukum,
tidak seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur’an saja, tanpa
memperhatikan pejabaran (syarah) dan penjelasannya (bayan), yaitu sunnah. Sebab
di dalam al-Qur’an terdapat banyak hal yang masih global seperti keterangan
tentang sholat, zakat, haji, puasa dan lain-lainnya, sehingga tidak ada jalan
lain kecuali harus menengok keterangan dari sunnah.”
Sunnah adalah syarah bagi al-Qur`an. Tugas Rasulullah adalah:- Menyampaikan wahyu al-Qur`an:
يَاَيُّهَا
الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ [ الماءدة : 67
- Menjelaskan dan menerangkan wahyu al-Qur`an:
وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ
مَانُزِلَ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهًمْ يَتَفَكَّرُوْنَ [ النحل : 44
Nabi menjelaskan al-Qur`an
itu dengan tiga cara:
- dengan ucapan
- dengan perbuatan
- dengan ketetapannya
oleh karena itu Allah berfirman:
] وَمَا آتَاكُمُ
الرَّسُوْلُ فَخُذُواهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا [ الحشر : 7
] مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ
فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلىَّ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا [
النساء :81
Karena itu al-Qur`an lebih membutuhkan kepada al-Sunnah daripada
al-Sunnah kepada al-Qur`an, al-Sunnah itu sama kedudukannya dengan al-Qur`an
dalam hal menghalalkan dan mengharamkan. Rasulullah bersabda:
(( أَلاَ وَإِنِّيْ
أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ ))
“Ingatlah
aku ini diberi al-Qur`an dan yang semisalnya bersamanya.”
(HR.
Ahmad, hakim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah dan Darimi, Shahih)
G. Pendekatan Memahami Sunnah
Kadang - kadang kita menemukan beberapa hadits yang
nampaknya kontradiksi antara yang satu dengan yang lainnya. Sebetulnya bila
dikaji lebih mendalam, yang nampak kontradiksi itu belum tentu benar-benar
berlawanan. Oleh karena itu perlu ditempuh beberapa pendekatan.
1. Pendekatan Kompromi
Pendekatan kompromi (thariqatul jam’iy) ialah suatu pendekatan dalam
mencari kesimpulan hukum dari dua atau beberapa sunnah yang terlihat secara
lahiriah bertentangan, dengan cara mengkom-promikannya hingga tidak berlawanan.
2. Pendekatan Nasikh wal Mansukh (yang
menghapus dan yang dihapus)
Pendekatan ini berfungsi memilih hadits yang paling akhir di antara
hadits yang isinya berlawanan satu sama lain. Untuk mengetahuinya tentu saja
harus mempelajari tawarihul mutun atau sejarah disampaikannya hadits.
Suatu hadits itu nasikh dan mansukh diketahui dengan cara; ada penjelasan
dari Rasul secara langsung, ada yang dijelaskan sahabat, ada yang ditemukan
karena sejarah datangnya hadits, ada pula karena terdapat kata yang menunjukkan
sebagai nasikh hadits yang sebelumnya.
a. Hadits yang menjadi nasikh karena penjelasan dari
Rasul
b. Hadits yang berlawanan dan terjadi
nasikh mansukh karena ada penjelasan para sahabat
c. Hadits yang berlawanan dan terjadi
nasikh mansukh karena ditemukan yang mutakhir melalui sejara
3. Pendekatan Tarjih
Pendekatan yang digunakan dalam metode ini adalah dengan cara memilih
mana hadits yang lebih kuat.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1) Pengertian Sunnah
Sunnah berasal dari bahas arab yang secara etimologis
berrti “jalan yang biasa dilalui”atau”cara yangsenantiasa dilakukan
“atau”kebiasaan yang selalu dilaksanakan”, apakah cara atau kebiasaan itu
sesuai yang baik atau buruk.
2) Nabi Muhammad Sebagai
Sumber Sunnah
Dalam rangka menjadikan Rasulullah sebagai uswah
hasanah—sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas—setiap muslim harus memahami
betul tentang sumbernya. Sunnah Nabi adalah sumber uswah hasanah. Ia dapat
diketahui melalui beberapa hal, yaitu: (1) Perkataan (Qawliyah), (2) Perbuatan
(Fi’liyah), (3) Persetujuan (Taqririyah), (4) Rencana (Hammiyah), dan (5)
Penghindaran (Tarkiyah).
3) Kedudukan dan Fungsi
Sunnah
Telah sepakat ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa
As-Sunnah merupakan hujjah dan salah satu sumber syari’at Islam
4) Pendekatan Memahami
Sunnah
Kadang-kadang kita menemukan beberapa hadits yang
nampaknya kontradiksi antara yang satu dengan yang lainnya. Sebetulnya bila
dikaji lebih mendalam, yang nampak kontradiksi itu belum tentu benar-benar
berlawanan. Oleh karena itu perlu ditempuh beberapa pendekatan. Diantaranya
yakni :
1. Pendekatan Kompromi
2. Pendekatan Nasikh wal Mansukh (yang
menghapus dan yang dihapus)
3. Pendekatan Tarjih
Dari semua yang telah
diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai
berikut:
1. Secara bahasa, hadits dapat
berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits
berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang
disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).
2. Peran dan kedudukan Hadits
adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi
sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
4. Dalam hubungannya dengan
Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan tafsir yang
menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan Taqrir,
berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan
Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an
3. Dalam beberapa kasus, As-Sunnah
dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada
keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat.
Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya
sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.
Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad
merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan
perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.
DAFTAR PUSTAKA
- Romli: 1999, Muqorranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya media pratama
- Ali, muhammad Daud, 2004, Hukum Islam. Jakarta PT Raja Grafindo Persada
- Usman, Suparman 2000, Hukum Islam. Jakarta Gaya Media Pratama
- Saifuddin, 2008, Beberapa Pendekatan Memahami Sunnah, Bandung : Harakatuna.
- Al-Qur’an
- Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka
- Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. T.M., (1965), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang
- Quraish, M. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan