Selasa, 27 Maret 2012

Makalah Sumber Kajian Islam Al-Sunnah


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Alhamdulillah pertama - tama mari kita panjatkan puja dan puji syukur kehadirat allah atas segala rahmat dan hidayahnya yang telah diberikan kepada kita sehingga kitadapat mengikuti kajian atau diskusi bersama. Dan kepada bapak pembimbing kami mohon ma’af apabila ada kesalahan dalam menyusun makalah ini. Dan makalah ini kami ajukan untuk memenuhi tugas kami yang telah di beikan kepeda kami.
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”.
Beranjak dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa Al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali Al-Qur’an membicarakanya, atau Al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam Al-Qur’an. Nah jalan keuar untuk memperjelas dan merinci keuniversalan Al-Qur’an tersebut, maka diperlukan Al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
Sekarang timbulah setidaknya ada dua persoalan yang mendasar, yaitu;
Pertama, dapatkah Sunnah berdiri sendiri dalam menentukan hukum yang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an?; Kedua, apakah semua perbuatan Nabi Muhammad dapat berfungsi sebagai sumber hukum yang harus diikuti oleh setiap umat islam?.


Makalah yang kecil lagi tipis ini, berusaha menjelaskan sekelumit tentang kedua perkara di atas, dan juga menjelaskan adanya keterkaitan antara Al-Hadits/As-Sunnah dengan Al-Qur’an

B. Rumusan Masalah
1. Supaya kita mengerti arti atau pengertian dari pada sunnah ?
2. Kedudukan Hadits atau Sunnah?
3. Pendekatan memahami sunnah?

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sunnah
Sunnah berasal dari bahas arab yang secara etimologis berrti “jalan yang biasa dilalui”atau”cara yangsenantiasa dilakukan “atau”kebiasaan yang selalu dilaksanakan”, apakah cara atau kebiasaan itu sesuai yang baik atau buruk.
Pengertian sunnah secara etimologis, dapat ditemukan dalam sabda Rasulullah SAW, sebagai berikut:
“Barangsiapa yang membasakan sesuatu yang baik, maka ia menerima pahalanya dan pahala orang-orang yang mengamalkan sesudahnya, dan barang siapa yang membiasakan sesuatu yang buruk, maka akan menanggung dosanya dan dosa orang-orang yang mengikuti sesudahnya.” (HR. Muslim).
Secara terminologis (dalam istilah syari’ah),sunnah bisa dilihat dari tiga bidang ilmu yaitu: ilmu hadist, ilmu fiqih dan ilmu ushul fiqih.
Secara etimologi, Sunnah berarti tata cara. Dalam kitab Mukhtar al-Shihah disebutkan bahwa sunnah secara etimologi berarti tata cara dan tingkah laku atau perilaku hidup, baik perilaku itu terpuji maupun tercela. Hasbi Ash-Shiddieqy menambahkan bahwa suatu tradisi yang sudah dibiasakan, dinamai sunnah, walaupun tidak baik.  
Di dalam al-Qur’an kita dapat menjumpai beberapa ayat yang menyebutkan kata “sunnah”. M.M. Azami menelusuri pengertian istilah “sunnah” di dalam al-Qur’an, menurutnya kata “sunnah” disebutkan dalam beberapa ayat berikut ini:
            1. Surat an-Nisa’: 26
يُرِيدُ اللَّهُ لِيُبَيِّنَ لَكُمْ وَيَهْدِيَكُمْ سُنَنَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَيَتُوبَ عَلَيْكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ 
Artinya: “Allah hendak menerangkan hukum syari’ah-Nya kepadamu dan menunjukkanmu ke jalan yang orang-orang sebelum kamu (yaitu para nabi dan orang-orang saleh), serta hendak menerima taubatmu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” 


            2. Surat al-Anfal: 38
قُلْ لِلَّذِينَ كَفَرُوا إِنْ يَنْتَهُوا يُغْفَرْ لَهُمْ مَا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُوا فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الْأَوَّلِينَ
Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad) kepada orang-orang kafir, apabila mereka menghentikan perbutannya maka dosa-dosa mereka yang telah lalu akan diampuni, dan apabila mereka tetap kembali untuk melakukan perbuatan itu maka sunnah (aturan) orang-orang dahulu sudah berlaku.”    
            3. Surat al-Isra’: 77
سُنَّةَ مَنْ قَدْ أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ مِنْ رُسُلِنَا وَلَا تَجِدُ لِسُنَّتِنَا تَحْوِيلًا
Artinya: “(Kami menetapkan hal itu) sebagai suatu ketetapan terhadap rasul-rasul Kami yang Kami utus sebelum kamu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam ketetapan Kami.”
            4. Surat al-Fath: 23
سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ مِنْ قَبْلُ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللَّهِ تَبْدِيلًا
Artinya: “Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, dan kamu tidak akan menemukan perubahan dalam sunnatullah itu.”
Dari ayat-ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dalam al-Qur’an kata-kata “sunnah” dimaknai dengan arti secara etimologis, yaitu tata cara dan kebiasaan.
Secara terminologi, para ulama ahli hadits mendefinisikan “sunnah” sebagai sabda, pekerjaan, ketetapan, sifat (watak budi atau jasmani); atau tingkah laku Nabi Muhammad saw, baik sebelum menjadi Nabi maupun sesudahnya. Adapun ahli Ushul Fiqih mendefinisikan “sunnah” adalah sabda Nabi Muhammad saw. yang bukan berasal dari al-Qur’an, pekerjaan, atau ketetapannya. Berbeda lagi dengan ahli fiqih yang mendefinisikan “sunnah” sebagai hal-hal yang berasal dari Nabi Muhammad saw. baik ucapan maupun pekerjaan, tetapi hal itu tidak wajib dikerjakan.


Orang-orang orientalis juga memberikan definisi terhadap sunnah. Diantara mereka ada yang berpendapat bahwa sunnah adalah istilah animisme. Ada juga yang berpendapat bahwa sunnah berarti “masalah ideal dalam suatu masyarakat”. Ada juga yang berpendapat bahwa periode-periode pertama sunnah berarti “kebiasaan” atau “hal yang menjadi tradisi masyarakat”, kemudian pada periode belakangan pengertian sunnah terbatas pada “perbuatan Nabi saw”.
Karena adanya perbedaan-perbedaan dalam menentukan pengertian sunnah, baik secara etimologi maupun terminologi, berikut adanya dampak dari perbedaan-perbedaan itu, maka perlu diteliti lebih dulu apa sebenarnya maksud kata “sunnah” itu.
B. Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetpai juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam. Di dalam Al-Quran dijelaskan antara lain sebagai berikut:
1. Setiap Mu’min harus taat kepada Allah dan kepada Rasulullah. (Al-Anfal: 20, Muhammad: 33, an-Nisa: 59, Ali ‘Imran: 32, al- Mujadalah: 13, an-Nur: 54, al-Maidah: 92).
2. Patuh kepada Rasul berarti patuh dan cinta kepada Allah. (An-Nisa: 80, Ali ‘Imran: 31)
3. Orang yang menyalahi Sunnah akan mendapatkan siksa. (Al-Anfal: 13, Al-Mujadilah: 5, An-Nisa: 115).
4. Berhukum terhadap Sunnah adalah tanda orang yang beriman. (An-Nisa: 65).
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
C. Hubungan As-Sunnah Dengan Al-Qur’an
Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :
  1. Bayan Tafsir,
yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).
  1. Bayan Taqrir,
yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.
  1. Bayan Taudhih,
yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.
D. Dapatkah As-Sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)

Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.

E. Nabi Muhammad Sebagai Sumber Sunnah
Dalam rangka menjadikan Rasulullah sebagai uswah hasanah sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas setiap muslim harus memahami betul tentang sumbernya. Sunnah Nabi adalah sumber uswah hasanah. Ia dapat diketahui melalui beberapa hal, yaitu: (1) Perkataan (Qawliyah), (2) Perbuatan (Fi’liyah), (3) Persetujuan (Taqririyah), (4) Rencana (Hammiyah), dan (5) Penghindaran (Tarkiyah).
Sunnah memiliki beberapa nama antara lain: (1) Sunnah, yang berarti tradisi, contoh, kebiasaan, (2) Hadits, yang berarti perkataan, peristiwa, baru, (3) Khabar, yang berarti berita, (4) Atsar, yang berarti bekas.
Sumber sunnah yang pertama ialah qawliyah, yakni segala perkataan yang disabdakan Rasulullah SAW yang didengar oleh sahabatnya dan disebarluaskan kepada masyarakat. Dalam kitab-kitab hadits sunnah qawliyah ini ditandai dengan kata-kata seperti Qaala, yaquwlu, qawlu, sami’tu yaquwlu.
Sumber sunnah yang kedua ialah fi’liyah, yakni perbuatan Rasulullah SAW yang dilihat oleh sahabatnya dan diceritakan kepada kaum muslimin dari kalangan tabi’in, kemudian disebarluaskan kepada generasi berikutnya hingga sampai kepada para penyusun kitab hadits. Kalimat yang biasa digunakan untuk menjelaskan sunnah fi’liyah ini adalah kaana Rasulullah (adalah Rasulullah), Ra-aytu Rasulullah (saya melihat Rasulullah).
Sumber sunnah yang ketiga ialah taqririyah, yaitu perbuatan sahabat yang diketahui Rasulullah SAW dan beliau tidak melarangnya, kemudian peristiwanya diberitakan kepada kaum muslimin.
Sumber sunnah yang keempat ialah hammiyah, yaitu rencana Rasulullah SAW, tapi belum sempat dilaksanakan
Sumber sunnah yang kelima ialah tarkiyah, yaitu suatu perbuatan yang dimungkinkan untuk diperbuat Rasulullah SAW, dan beliau memerlukannya tapi beliau sendiri tidak melakukannya.

F. Kedudukan dan Fungsi Sunnah
Telah sepakat ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa As-Sunnah merupakan hujjah dan salah satu sumber syari’at Islam
Diantara dalil-dalil yang menunjukkan bahwa As-Sunnah merupakan hujjah :
Dalil Pertama: ALQUR’AN Sangat banyak ayat-ayat dalam Al Qur’an yang menunjukkan bahwa As-Sunnah merupakan hujjah. Dan ayat-ayat ini mempunyai banyak jenis, dan terkadang ayat yang satu mengandung lebih dari satu jenis atau macam.
Berikut ini kami sebutkan 5 jenis ayat-ayat Al Qur’an tersebut:
1) Yang menunjukkan wajibnya beriman kepada Nabi Muhammad
2) Yang menunjukkan bahwa Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan isi kandungan Al Qur’an Allah.
3) Yang menunjukkan wajibnya taat kepada Rosulullah Shallallhu ‘alaihi wa sallam secara mutlak dan ketaatan kepadanya merupakan perwujudan ketaatan kepada Rasul kepadamu maka terimalah dia.
4) Yang menunjukkan wajibnya mengikuti serta beruswah kepada beliau r dan mengikuti sunnahnya merupakan syarat untuk meraih mahabbatullah
5) Yang menunjukkan bahwa Allah Ta’ala memerintahkan kepada beliau untuk mengikuti firman-Nya dan menyampaikan seluruh wahyu serta penegasan bahwa beliau telah melaksanakan perintah tersebut dengan baik.

Dalil Kedua ALHADITS Sebagaimana Al Qur’an, dalam Al Hadits juga sangat banyak memuat dalil-dalil yang menunjukkan bahwa As Sunnah merupakan hujjah. Dalil-dalil tersebut bisa diklasifikasi kanmenjadi 3 jenis:
1) Kabar yang beliau shallallahu 'alaihi wa sallam sampaikan bahwa beliau diberikan wahyu dan apa yang beliau sampaikan merupakan syari’at Allah Ta’ala, karenanya mengamalkan As Sunnah berarti mengamalkan Al Qur’an. Dan Iman tidak akan sempurna kecuali setelah mengikuti sunnahnya dan tidak ada yang bersumber dari beliau kecuali baik danbenar.
2) Perintah beliau untuk memegang teguh sunnahnya dan larangan beliau hanya mengambil dan mengamalkan Al Qur’an tanpa As Sunnah dan mengikuti hawa nafsu serta hanya menggunakan logika belaka.
3) Perintah beliau untuk mendengarkan haditsnya, menghafalkannya, dan menyampaikannya kepada yang belum mendengarnya dan beliau menjanjikan bagi yang menyampaikannya berupa pahala yang sangat besar.
Sunnah berfungsi menopang al-Qur’an dalam menjelaskan syari’at Islam. Bentuk penopang tersebut dapat dirumuskan ke dalam tiga hal sebagai berikut:
Pertama, Sunnah berfungsi menjelaskan ayat yang masih mubham, merinci ayat yang mujmal, mentakhsis ayat yang umum –meskipun kekuatan sunnah dalam mentakhsis ayat al-Qur’an yang umum masih diperselisihkan ulama, dan menjelaskan ayat al-Qur’an yang nasikh dan mansukh- menurut jumhur ulama yang berpendapat adanya kemungkinan nasakh pada sebagian hukum-hukum al-Qur’an. Diantara contoh-contoh sunnah yang berfungsi sebagai penjelas terhadap al-Qur’an adalah seperti pejelasan tentang shalat, zakat, dan lain-lainnya. Misalnya, Imam Syafi’i menganggap bahwa hadits di bawah ini
لاَ تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ عَلَى عَمَّتِهَا وَلاَ عَلَى خَالَتِهَا وَلاَ عَلَى اِبْنَةِ أُخْتِهَا وَلاَ اِبْنَةِ اَخِيْهَا  
Artinya: Tidak boleh dinikahi seorang perempuan bersama dengan bibi dari jurusan bapak, bibi dari jurusan ibu, kemenakannya (anak dari saudara perempuannya), dan kemenakannya (anak dari saudara laki-laki). (HR. Imam Ahmad)
Hadits ini menurut Imam Syafi’i, mentakhsis firman Allah:
وَاُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذلِكُمْ
Artinya: Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (QS. an-Nisa’: 24)
Nampaknya Imam-imam yang lain sependapat dengan asy-Syafi’i dalam kaitannya dengan hadits tadi, mseki masih diperselisihkan tentang kekuatannya, apakah tergolong hadits ahad atau hadits masyhur.
Kedua, sunnah menambah kewajiban-kewajiban syara’ yang ketentuan pokoknya telah ditetapkan nash al-Qur’an. Misalnya, Sunnah datang dengan membawa hukum-hukum tambahan yang menyempurnakan ketentuan-ketentuan pokok tersebut. Di antara contoh hadits semacam ini adalah masalah li’an. Al-Qur’an telah menerangkan dengan jelas dan sempurna masalah ini, kemudian sunnah memberikan ketetapan untuk memisahkan suami-isteri itu dengan jalan perceraian. Perceraian ini mengandung hikmah, karena tsiqoh (kepercayaan) yang menjadi dasar kehidupan berumah tangga telah hilang dari suami-isteri itu.     
Ketiga, Sunnah membawa hukum yang tidak ada ketentuan nashnya di dalam al-Qur’an, tidak pula merupakan tambahan terhadap nash al-Qur’an. Di antara contoh sunnah semacam ini adalah pelarangan memakan keledai kampung (al-humur al-ahliyah), daging binatang buas, dan  beberapa ketentuan tentang diyat.    
Dari keterangan tersebut di atas jelaslah bahwa memakai al-Qur’an saja dan meninggalkan Sunnah adalah sesuatu yang tidak mungkin dan tidak dibenarkan. Oleh karena itu, Imam Syafi’i mengatakan bahwa setiap orang yang menerima hukum-hukum yang diwajibkan oleh Allah maka berarti ia menerima Sunnah-sunnah Rasul-Nya serta menerima hukum-hukumnya. Begitupula orang yang menerima sunnah-sunnah rasul, ia berarti menerima perintah-perintah Allah. Keduanya merupakan satu kesatuan dalam kaitannya dengan kepentingan istidlal dan dipandang sebagai sumber pokok (ashl) yang satu, yakni nash. Keduanya saling menopang secara sempurna dalam menjelaskan syari’ah.
Dalam konteks ini Imam asy-Syatibi berkata: “Di dalam melakukan istinbath hukum, tidak seyogyanya hanya membatasi dengan memakai dalil al-Qur’an saja, tanpa memperhatikan pejabaran (syarah) dan penjelasannya (bayan), yaitu sunnah. Sebab di dalam al-Qur’an terdapat banyak hal yang masih global seperti keterangan tentang sholat, zakat, haji, puasa dan lain-lainnya, sehingga tidak ada jalan lain kecuali harus menengok keterangan dari sunnah.”  
Sunnah adalah syarah bagi al-Qur`an. Tugas Rasulullah  adalah:
  1. Menyampaikan wahyu al-Qur`an:
 يَاَيُّهَا الرَّسُوْلُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ [ الماءدة : 67

  1. Menjelaskan dan menerangkan wahyu al-Qur`an:
 وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ إِلَيْهِمْ لَعَلَّهًمْ يَتَفَكَّرُوْنَ [ النحل : 44
Nabi  menjelaskan al-Qur`an itu dengan tiga cara:
  1. dengan ucapan
  2. dengan perbuatan
  3. dengan ketetapannya
oleh karena itu Allah  berfirman:
] وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُواهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا [  الحشر : 7
] مَنْ يُطِعِ الرَّسُوْلَ فَقَدْ أَطَاعَ اللهَ وَمَنْ تَوَلىَّ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيْظًا [ النساء :81
Karena itu al-Qur`an lebih membutuhkan kepada al-Sunnah daripada al-Sunnah kepada al-Qur`an, al-Sunnah itu sama kedudukannya dengan al-Qur`an dalam hal menghalalkan dan mengharamkan. Rasulullah  bersabda:
(( أَلاَ وَإِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلَهُ مَعَهُ ))
“Ingatlah aku ini diberi al-Qur`an dan yang semisalnya bersamanya.”
(HR. Ahmad, hakim, Abu Daud, Tirmidzi, Ibn Majah dan Darimi, Shahih)

G. Pendekatan Memahami Sunnah
Kadang - kadang kita menemukan beberapa hadits yang nampaknya kontradiksi antara yang satu dengan yang lainnya. Sebetulnya bila dikaji lebih mendalam, yang nampak kontradiksi itu belum tentu benar-benar berlawanan. Oleh karena itu perlu ditempuh beberapa pendekatan.
1. Pendekatan Kompromi
Pendekatan kompromi (thariqatul jam’iy) ialah suatu pendekatan dalam mencari kesimpulan hukum dari dua atau beberapa sunnah yang terlihat secara lahiriah bertentangan, dengan cara mengkom-promikannya hingga tidak berlawanan.
2. Pendekatan Nasikh wal Mansukh (yang menghapus dan yang dihapus)
Pendekatan ini berfungsi memilih hadits yang paling akhir di antara hadits yang isinya berlawanan satu sama lain. Untuk mengetahuinya tentu saja harus mempelajari tawarihul mutun atau sejarah disampaikannya hadits.
Suatu hadits itu nasikh dan mansukh diketahui dengan cara; ada penjelasan dari Rasul secara langsung, ada yang dijelaskan sahabat, ada yang ditemukan karena sejarah datangnya hadits, ada pula karena terdapat kata yang menunjukkan sebagai nasikh hadits yang sebelumnya.
a. Hadits yang menjadi nasikh karena penjelasan dari Rasul
b. Hadits yang berlawanan dan terjadi nasikh mansukh karena ada penjelasan para sahabat
c. Hadits yang berlawanan dan terjadi nasikh mansukh karena ditemukan yang mutakhir melalui sejara
3. Pendekatan Tarjih
Pendekatan yang digunakan dalam metode ini adalah dengan cara memilih mana hadits yang lebih kuat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
            1) Pengertian Sunnah
Sunnah berasal dari bahas arab yang secara etimologis berrti “jalan yang biasa dilalui”atau”cara yangsenantiasa dilakukan “atau”kebiasaan yang selalu dilaksanakan”, apakah cara atau kebiasaan itu sesuai yang baik atau buruk.
            2) Nabi Muhammad Sebagai Sumber Sunnah
Dalam rangka menjadikan Rasulullah sebagai uswah hasanah—sebagaimana diungkapkan dalam ayat di atas—setiap muslim harus memahami betul tentang sumbernya. Sunnah Nabi adalah sumber uswah hasanah. Ia dapat diketahui melalui beberapa hal, yaitu: (1) Perkataan (Qawliyah), (2) Perbuatan (Fi’liyah), (3) Persetujuan (Taqririyah), (4) Rencana (Hammiyah), dan (5) Penghindaran (Tarkiyah).
                3) Kedudukan dan Fungsi Sunnah
Telah sepakat ulama Ahlus Sunnah wal Jama'ah bahwa As-Sunnah merupakan hujjah dan salah satu sumber syari’at Islam
                4) Pendekatan Memahami Sunnah
Kadang-kadang kita menemukan beberapa hadits yang nampaknya kontradiksi antara yang satu dengan yang lainnya. Sebetulnya bila dikaji lebih mendalam, yang nampak kontradiksi itu belum tentu benar-benar berlawanan. Oleh karena itu perlu ditempuh beberapa pendekatan. Diantaranya yakni :
1. Pendekatan Kompromi
2. Pendekatan Nasikh wal Mansukh (yang menghapus dan yang dihapus)
3. Pendekatan Tarjih
Dari semua yang telah diuraikan sebelumnya telah, dapat diambil beberapa kesimpulan pokok sebagai berikut:
1. Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).
2. Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
4. Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an
3. Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.
Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

DAFTAR PUSTAKA

  • Romli: 1999, Muqorranah Mazahib fil Ushul. Jakarta: Gaya media pratama
  • Ali, muhammad Daud, 2004, Hukum Islam. Jakarta PT Raja Grafindo Persada
  • Usman, Suparman 2000, Hukum Islam. Jakarta Gaya Media Pratama
  • Saifuddin, 2008, Beberapa Pendekatan Memahami Sunnah, Bandung : Harakatuna.
  • Al-Qur’an
  • Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka
  • Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. T.M., (1965), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang
  • Quraish, M. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar