Selasa, 27 Maret 2012

Makalah Pluralisme

BAB I
PENDAHULUAN

A.     LATAR BELAKANG
Sejarah membuktikan bahwa perkembangan pemikiran keislaman memiliki riwayat yang cukup panjang dan berliku. Pemikiran tersebut terus menerus berlangsung, karena proses kebudayaan masyarakat senantiasa berkembang dan semakin kompleksnya segala persoalan yang ada ditengah masyarakat. Islam sebagai agama yang diridoi Allah Swt mampu tampil adaptif terhadap realitas kehidupan sosial masyarakat, walaupun tidak sedikit terdapat benturan terhadap tatanan sosial, politik, budaya dan lain sebagainya.
Dalam konteks perkembangan pemikiran yang pluralis ini perlu untuk kita waspadai, sebab dalam perkembangan kontemporer selama ini ternyata pemikiran tersebut terdapat niatan untuk menghancurkan aqidah umat Islam melalui para intelektual muslim itu sendiri. Semoga kajian pluralisme pemikiran Islam ini, dapat memberi wawasan bagi kita dalam mewaspadai adanya gerakan-gerakan pemikiran yang plural, yang aktor penggeraknya justru oleh kalangan cendikiawan muslim untuk merusak Islam dan umat Islam. 
Pluralitas agama sekarang ini telah menjadi suatu keniscayaan dan mendesak agama - agama, untuk menghadapi dan mengubah paradigma teologinya. Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak hanya di desak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran agama - agama dan kepercayaan - kepercayaan yang lain itu. Mengembangkan
teologi agama - agama bukan tanpa kesulitan dan resiko. Tantangan internalnya adalah teologi tradisional ( Barat ) yang berakar kuat serta resistensi fundamentalisme . Secara eksternal, pluralisme agama dicurigai sebagai misi terselubung  untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus keengganan mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif, Akhirnya pada bagian refleksi, penulis mengutarakan pentingnya pluralisme agama dan dialog untuk dikembangkan guna menanggulangi masalah kemanusiaan kontemporer, menghadirkan kedamaian dan sekaligus dapat saling memperkaya kehidupan beriman dalam konteks majemuk Indonesia.
B.     RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Pluralisme
2. Pluralisme dalam kajian islam
3. Beberapa Dilema pluralisme


BAB II
PEMBAHASAN

Sejak kerasulan Muhammad Saw maka kajian mengenai ilmu pengetahuan maupun ilmu-ilmu yang lainnya mulai mendapatkan perhatian, yang sebelumnya telah meredup dan hal ini menjadi sesuatu hal yang sangat dibutuhkan dalam membangun sebuah peradaban suatu bangsa. Dengan turunnya wahyu al qur’an secara berangsur-angsur dan sebagai parnernya sunah rasulullah Saw, maka hal ini menjadikan ilmu pengetahuan semakin semarak untuk dikaji oleh kalangan umat Islam itu sendiri. Sehingga mampu melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang hingga sekarang terus mengalami perkembangan yang berdampak untuk kemaslahatan umat manusia dibumi.
Seiring dengan perluasan Islam ke berbagai negeri, ternyata ilmu-ilmu yang bernuansa Islam turut serta memperkaya khazanah intelektual muslim dengan ditandai banyaknya tokoh-tokoh Islam yang ahli dalam berbagai bidang ilmu. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan juga dipengaruhi oleh pemikiran dari kaum non muslim, sebab berbagai keilmuan maupun budaya dalam Islam dibarengi dengan ekspansinya ke berbagai wilayah. Islam mampu berinteraksi dengan budaya-budaya lokal atau budaya setempat bahkan terhadap ilmu pengetahuan selama budaya tersebut tidak menyalahi dari koridor ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw. 
Pluralitas pemikiran Islam berlangsung sejak perkembangan Islam hingga abad sekarang. Namun perlu dipahami bahwa beredarnya paham pluralitas pemikiran Islam tidak selamanya memberi sumbangsih demi kejayaan dan menghidupkan Islam tetapi justru dalam masa kontemporer ini paham tersebut meresahkan umat Islam dengan memperkeruh atau mengobok-obok ajaran Islam dengan pola pemikiran yang semakin plural. Akan tetapi dari pemikiran yang plural tidak semuanya itu buruk, asalkan saja pemikiran tersebut tidak menyimpang dari hukum Islam.
1. Pengertian Pluralisme
Pluralisme berasal ari kata “plural” yang berarti kemajemukan atau keanekaragaman dan “isme” yang berarti paham, jadi pluralism adalah paham kemajemukan.
2. Pluralisme atau Kemajemukan
·        Sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah sikap bersedia untuk menghargai adanya perbedaan masing-masing anggota masyarakat.
·        Perbedaan dipandang sebagai hak fundamental dari setiap anggota masyarakat dan menuntut anggotanya untuk menjaga, menghargai dan menumbuhkan nya

3. Pluralisme dalam kajian studi islam
·        Musa Asy’ariè sesungguhnya berbeda dengan orang lain bukanlah suatu kesalahan, apalagi kejahatan , namun sangat diperlukan.
·        Al-Qur’an mengajarkan kepada kepada kita akan penting dan perlunya memberlakukan perbedaan dan Pluralisme secara arif yaitu untuk mengenal dan belajar atas adanya perbedaan dan Pluralitas untuk saling membangun dan memperkuat saling pengertian dan tidak melihat dalam perspektif tinggi dan rendah ataupun baik dan buruknya .
·        Al-Qur’an juga menganjurkan kepada kita untuk dapat menjaga dan mengembangkan musyawarah.
·        Musyawarah yang di anjurkan adalah musyawarah yang dilakukan secara tulus dan ikhlas bukan yang basa-basi yang selama ini berkembang dalam iklim kehidupan politik yang represif yang akhirnya hanya melahirkan kesepakatan yang kosong hanya ada diatas kertas tetapi tidak dijalankan dalam aktualitas kehidupan bersama dan tidak melahirkan dampak yang mententramkan bagi kehidupan masyarakat.
Berikut kami sajikan beberapa varian pemikiran Islam yang berkembang dalam masa perkembangan Islam :
A.      Pemikiran Kalam (teologi)
Kalam atau teologi menurut Ibnu Khaldun didefinisikan sebagai ilmu yang mempergunakan bukti-bukti logis dalam memper-tahankan aqidah keimanan dan menolak pembaharu yang menyimpang dari dogma yang dianut kaum muslim pertama dan ortodoksi muslim.
Permasalahan yang muncul hingga terjadinya keretakan dikalangan kaum muslim sesaat ketika wafatnya Nabi Muhammad Saw ialah perkara keabsahan siapakah pengganti pemegang otoritas kekuasaan atau khalifah setelah kepergian beliau Saw.
Kemudian hingga pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, muncul isu siapakah yang lebih berhak menggantikan Nabi (khalifah) dan isu ini semakin mengemuka dan menjadi perbincangan bagi para pemuka maupun masyarakatnya. Puncaknya pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib umat Islam mengalami perpecahan dan perseteruan hingga mengalirnya darah kaum muslimin yaitu antara khalifah Ali bin Abi Thalib yang merupakan sepupu sekaligus menantu Nabi Saw dengan kubunya Muawiyah yang juga sebagai kerabat khalifah sekaligus gubernur Damaskus di masa itu.
Berlatarbelakang dari permasalahan tersebut, sekelompok umat Islam mulai berani membuat analisis mengenai kasus pembunuhan khalifah Usman bin Affan. Apakah bagi pembunuhnya berdosa ataukah tidak, analisa yang lainya mengenai perbuatan pembunuhan itu apakah pelakunya digerakkan oleh dirinya sendiri atau digerakkan oleh Tuhan. Kalangan umat Islam menduga, berawal dari persengketaan inilah yang merupakan cikal bakal tumbuhnya beberapa paham yang kita hingga sekarang yang dikenal dengan sebutan jabariyah dan qodariyah. Akibat suasana yang semakin tidak kondusif tersebut membuat kaum muslimin memutar pikirannya untuk mencarikan solusinya, hingga sampai terjadi peristiwa arbitrase yaitu upaya penyelesaian persengketaan antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Aisyah pada perang jamal dan sengketa antara khalifah Ali bin Abi Thalib Muawiyah bin Abu Sufyan
Upaya perdamaian pada perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah, ternyata upaya tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pendukung Ali bin Abi Thalib. Akibat dari tahkim itu kubu pendukung khalifah Ali bin Abi Thalib terpecah, sedangkan kelompok yang memisahkan dari barisan khalifah Ali bin Abi Thalib dikenal dengan sebutan Khawarij. Khawarij yang dipelopori Abdullah bin Wahab al Rasybi, berfatwa bahwa orang yang terlibat dalam tahkim baik menyetujui bahkan melaksanakanya dinyatakan berdosa besar dan setiap yang berdosa besar dianggap tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia dihukumi kafir. Persoalan penentuan kafir maupun tidak kafir sudah masuk ranah aqidah bukan sekadar persoalan politik. Karena timbulnya keresahan akibat fatwa golongan khawarij, maka sebagian umat Islam yang lain secara tegas menolaknya, dengan argumentasi bahwa fatwa tersebut tidak dilandasi nash dalam al qur’an maupun sunah maka kepastian hukumya ditunda dahulu dan diserahkan kepada Allah di negeri akhirat kelak. Disamping itu muncul reaksi lain yang memberikan dukungan kepada khalifah Ali bin Abi Thalib bahkan secara berlebihan mereka mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib, kelompok ini dikenal dengan nama golongan Syiah. Bermula dari analisa-analisa pemikiran tersebut hingga terlahirlah banyak corak aliran kalam dalam Islam. Dapat disimpulkan bahwa faktor politik cukup dominan dalam mempengaruhi munculnya pluralitas pada ilmu kalam.

B.      Pemikiran Fiqih
Islam merupakan agama konstitusi yang mampu mengatur kehidupan umat manusia, dan hal ini tidak dimiliki oleh pedoman kitab-kitab lain yang ada di dunia. Islam ajarannya menuntut untuk ditegakkanya keadilam sosial masyarakat. Oleh sebab itu, dengan banyak permasalahan yang muncul di tengah-tengah kehidupan manusia, sehingga ajaran Islam melalui cabang ilmu fiqihnya mempunyai peranan cukup penting dalam memberikan solusi yang timbul di masyarakat.
Pada masa rasulullah Saw segala permasalahan yang muncul dan belum diketahui jawabanya maka kepastian jawaban sebagai alternatif solusinya dapat langsung ditanyakan kepada baginda rasulullah Saw. Sepeninggal beliau wilayah Islam terus mengalami perkembangan melalui ekspansi ke berbagai penjuru dunia, sehingga hal ini tentunya semakin banyaknya persoalan yang cukup rumit yang ditemui oleh umat Islam. Dengan demikian, tokoh-tokoh Islam dituntut pemikiranya dalam menghadapi segala persoalan yang ada, dengan kembali kepada al-qur’an dan sunah hingga melakukan ijtihad.
Pemikiran ilmu fiqih sebagai klasifikasinya dalam mengatur perilaku kehidupan umat manusia. Sebagai contohnya, hukum ibadah mengatur hubungan antar individu dengan Allah Swt. Hukum keluarga mengatur antar individu dengan individu dalam keluarga. Hukum kebendaan dan kewarisan mengatur hubungan antar individu dengan dalam hal kebendaan, komunitas dan Negara. Hukum perkawinan mengatur hubungan antara individu dengan individu untuk melindungi kehormatan dan keturunan. Hukum pidana mengatur lalulintas antarhubungan yang menjamin kemanan dan ketertiban masyarakat dan bernegara melalui sistem sanksi. Hukum tata negara mengatur hubungan dan tata cara pengaturan Negara, pemerintahan, hubungan antar negara dan bangsa.
Fiqih yang merupakan bagian dari hukum Islam senantiasa dinamis dalam perkembangnya hingga masa sekarang dan banyak para ulama yang berperan di dalamnya. Peran ulama dalam menyelesaikan persoalan yang muncul di wilayah satu dengan lainyapun beragam bentuknya, hal ini dengan mempertimbangkan kondisi yang berkembang di salah satu wilayah dimana ulama itu tinggal. Sebab itu, tidak heran jika banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama itu. Walaupun banyaknya ragam pendapat, para ulama/dengan mazhabnya sangat toleran dan saling menghargai. Misalnya Imam Syafi’I menyatakan: “pendapat saya benar, tapi mungkin juga salah. Sebaliknya pendapat orang lain salah, tapi bisa juga benar.
Secara umum, perkembangan pemikiran dalam bidang fiqih terbagi dalam beberapa tahapan yaitu:
ü      Tahap pertama adalah pembentukan yang dimulai pada masa kerasulan Muhammad Saw, masa khufa’ur rasyidin, hingga paruh pertama abad Hijriah.
ü      Tahap kedua adalah masa pembentukan fiqih yang dimulai pada paruh pertama abad 1 H Hingga awal abad ke 2 H. Tahap ini fiqih terpola melalui mazhab.
ü      Tahap ketiga adalah pematangan bentuk yang dimulai sejak awal abad 2H hingga pertengahan abad 4H. Masa ini, ijtihad dalam bentuk fiqih dikodifikasi dan dilengakpi dengan ilmu ushul fiqih.
ü      Tahap keempat adalah masa kemunduran fiqih yang ditandai oleh dua peristiwa penting jatuhnya Baghdad dan ditutupnya pintu ijtihad oleh para ulama.
ü      Tahap kelima adalah munculnya kesadaran akan pentingnya kitab hukum Islam yang mudah dioperasionalkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan Negara.

C.      Pemikiran Filsafat
Filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam disini bukanlah filsafat, yang dipahami adalah sistem rasional pemahaman dan wahyu atau agama dipahami secara totalitas. Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam melalui filsafat yunani yang dijumpai ahli-ahli fiqih Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan Mesir, seiring dengan ekspansi Alexander yang Agung keTimur pada abad ke IV SM.
Eksistensi filsafat sebagai bagian yang sah dalam Islam terdapat varian yang beragam pandangan. Bahkan keberadaanya justru seringkali dicurigai hingga dimusuhi, karena dianggap sebagai saingan agama. Fazlur rahman berpendapat “filsafat bukanlah saingan agama atau teologi, sebagaimana yang digencarkan oleh kelompok revivalisme atau ortodoksi Islam. Filsafat pasti berguna baginya, karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia berdasarkan  al-qur’an dengan bantuan alat-alat intelektual yang separonya disediakan oleh filsafat”.
Tradisi berfikir filsafat yang kuat dalam Islam telah menghantarkan umat Islam memasuki keemasanya sebagai pusat peradaban dunia selama berabad-abad. Dengan landasan keyakinan yang kuat terhadap kebenaran ajaran Islam menjadikan umat Islam masa itu tidak takut terhadap jenis pemikiran yang bagaimanapun liarnya.
Peranan pemikiran filsafat dalam Islam terbukti mampu membangkitkan dan menghidupan Islam dengan kejayaan dan berhasil membangun sebuah peradaban yang cukup cemerlang hingga dikenang sepanjang zaman. Eksistensi filsafat dalam Islam menggugah para tokoh atau ulama Islam terinspirasi dan termotivasi untuk mempelajari dan mengembangkanya hingga banyak sekali karya-karya yang berhasil ditemukan dan diciptakan. Berbagai karya dari para filsuf-filsuf kenamaan tersebut diantaranya ialah :
o      Al-Kindi bukan hanya sebagai filsuf tetapi juga ilmuan yang menguasai ilmu-imu pengetahuan pada zamanya. Karya-karyanya antara lain: matematika, geometri, astronomi, pharmacology, ilmu hitung, ilmu jiwa, optik, politik, musik dan sebagainya.
o       Al-Farabi, menulis buku mengenai ilmu manthiq, ilmu politik, etika, fisika, ilmu jiwa, metafisika, matematika, kimia, musik dan sebagainya.

D.      Tasawuf
Tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realistis dan kebahagiaan rohaniah. Secara singkat tasawuf adalah moral, moral adalah jiwa agama.
Tasawuf merupakan yang terdiri atas kondisi dan maqam-maqam, yang satu sama lain saling merupakan anak tangga. Orang yang ingin menjadi sufi memulai langkah dengan membersihkan jiwanya, agar bisa mejadi orang yang berhak menerima penampakan (tajalli), selalu meningkat hingga dapat merasakan adanya Allah direlung jiwanya dan demikian dekat dengan-Nya.

Demikianlah ulasan global mengenai pluralitas pemikiran Islam yang berkembang dimasa-masa perkembangan dan kejayaan Islam hingga abad sekarang. Adapun perkembangan pluralitas pemikiran Islam dewasa ini justru eksistensinya membahayakan umat Islam di belahan dunia. Karena kebebasan berfikir yang plural menjadikan tatanan syariat dan hukum Islam cenderung diotak-atik menurut seleranya sendiri-sendiri. Sebagai misal, umat Islam diminta untuk toleran dalam peribadatan kaum non-muslim dengan sama-sama merayakan hari besar mereka (natal), terbitnya buku fiqih lintas agama, mengubah tata cara dalam beribadah dan lain sebagainya. Pemikiran yang semacam ini tentunya harus diwaspadai dan dieliminir keberadaannya agar tidak merusak aqidah dan syariat Islam. 


4. Islam dan Tantangan Pluralisme agama
1. Perkembangan spiritual dan materitual
a. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah untuk membuat umat manusia menjadi satu komunitas tetapi Allah memberi Rahmat dengan Pluralisme dengan menambah kekayaan dan keberagaman hidup
b. Setiap komunitas mempunyai jalan hidup kebiasaan tradisi dan hukumnya sendiri dan semua hukum dan cara hidup itu haruslah menjamin perkembangan dan memperkaya hidup walaupun berbeda satu sama lain.
c. Allah tidak memaksakan satu hukum untuk semuanya dan sebaliknya menciptakan banyak pluralitas.
d. Allah tidak menciptakan banyak pluralitas dengan sesuatu tujuan yaitu untuk menguji umat manusia atas apa yang telah diberikan kepada mereka (misalnya perbedaan kitab suci, hukum, dan jalan hidup). Tujuan itu adalah untuk hidup secara damai dan harmonis sesuai kehendah Allah. Perbedaan hukum dan jalan hendahnya tidak menjadi penyebab ketidakharmonisan dan perbedaan yang diharapkan dari manusia adalah hidup degan segala perbedaan & berlomba-lomba satu sama lain dalam amal kebaikan.
2. Menghormati tempat-tempat ibadah
Sebagai konsekuensi semua tempat ibadah harus dihormati dan dilindungi, al-Qur’an menyebutkan bahwa di dalam tempat-tempat ibadah baik itu gereja, tempat ibadah orang yahudi atau masjid banyak disebut nama Allah. Bagian yang paling konkrit & signifikan. Tidak ada tempat ibadah agama yang lebih istimewa.
3. Civil society yang Pluralis
Islam betul-betul berupaya mengembangkan civil society yang pluralis dan menjamin martabat dan kebebasan setiap orang
Karena teori-teori ini self contradiction dan reduksionisme yang pada dirinya akhirnya berseberangan dengan tujuan yang semula direncanakan bukannya toleran tapi malah berubah menjadi intoleran dan bengis terhadap perbedaan agama lebih dari itu teori cenderung mengeliminasi dan menekan “kelainan yang lain-lain” (the otherness of the others). Tren-tren pluralism agama lebih merupakan ‘masalah’ baru daripada sebuah solusi

5. Pluralism ditilik dari nalar kritis dan historis
·        Fenomena pluralitas agama telah banyak menyita perhatian para teolog, filosof, pemikir, budayawan, akademisi dan kaum cerdik-cendekiawan
·        Solusi yang ditawarkan oleh kaum pluralis muslim atas isu kemajemukan tentu saja tampak menarik, meyakinkan dan promising namun kajian yang kritis dan mendalam terhadap argument dan nalar yang dikembangkan menunjukkan adanya kelemahan yang sangat mendasar, baik dari segi metodeologi maupun subtansi, diantaranya :
a. Inkonsistensi
b. Reduksi
kerancuan nalar kritis pluralism agama Menurut Jonh Hick ada 2 hal:
a. Gagasan pluralism agama tidak monolitik, dalam pengertian terdapat pluralitas dalam pluralisme agama.
b. Pluralism memang meniscayakan keragaman dan divercity bukan persamaan namun perbedaan itu bukan saling dibenturkan melainkan dimaknai sebagai desain Ilahi dan kebjakan social sehingga memunculkan sifat inklusif dan apresiasif.
  • Dalam al-Qur’an ada 3 sikap terhadap non muslim:
a. Positif
b. Netral
c. Negative
  • Pernyataan pluralitas masyarakat, masing-masing agama hidup dalam splendid isolution (keterasingan sempurna) dan different tolerance (toleransi acuh tak acuh) belum beranjak ketingkat meet each other to learn from and help each other (bertemu untuk belajar dan menolong satu sama lain) sehingga sangat mudah di manfaatkan kelompok-kelompok kepentingan untuk mewujudkan ambisi-ambisi politik social.
  • Umat beragama belum melakukan learn from and help each other biasanya cenderung eksklusif dan memandang hubungan antar agama dengan kacamata “superior” dan “inferior”



6. Dari Pluralism ke Dialog Agama
1. Islam dan Pluralisme
Kesamaan pandangan mengenai pluralism yakni menerima keragaman sebagai fakta sejarah dan social. Dekage terakhir gagasan-gagasan yang memihak dialog dan pluralisme agam mulai mendapat perhatian. Pemikiran muslim modernis dan liberal menganggap pluralism sebagai bagian dari desain dari Ilahi dank arena itu melambang kekayaan.
2. Komitmen Dialog
Untuk dapat mengakui, mentolelir, mempertahankan dan bahkan mendorong pluralism agama, seseorang tidak perlu meninggalkan komitmennya terhadap agamanya sendiri. Secara pskologis tanpa komitmen dan loyalitas, kita tidak akan bisa mengartikulasikan secara bermakna perihal religious personality atau religious community. Perbicaraan tentang pluralitas dan dialog agama akan sangat berarti apabiala terjadi dikalangan orang-orang yang punya komitmen
7. Model Dialog Antar Agama
1. Signifikansi dialog
Paradigma keagamaan telah terpatri dan teraplikasi dalam kehidupan beragama, maka model dialog agama yang dianggap sesuai karakter dan sosio cultural masyarakat setempat dapat dilalui dalam sebuah musyawarah dan kesepakatan bersama antar mereka yang berbeda agama.
2. Model dialog
Muhammad Jafar menegaskan 3 model dialog :
1. Parliamentary dialogue (dialog parlementer)
2. Institutional dialogue (dioalog kelembagaan)
3. Dialogue in community (dialog dalam masyarakat) dan dialog oflife (dialog kehidupan)
Muhtadin menawarkan suatu pendekatan cultural sebagai mekanisme dialog agama yang sangat penting dan lebih mengena.


8. Dilemma Pluralism Dan Dialog Agama
1. Terkesan elitis
Dalam lingkup yang lebih luas, gagasan pluralism dan inklusivisme hendaknya dikembangkan sebagai wacana public melalui intensifikasi pnyelenggara ekskusi, seminar dsb guna mengenalkan identitas agama-agama dan alirannya dengan perspektif wawasan yang lebih terbuka dan tidak fanatic.
2. Bias politik
Kerukunan dan persaudaraan antar agama seringkali tercabik oleh perbedaan orientas politik tokoh-tokok keagamaan
Intergritas Dialog Antar Agama
·        Hal positif dari aktivitas dialog lintas agama
1. Berkumpulnya orang-orang dari berbagai keyakinan yang berbeda dan tumbuhnya semangat persahabatan, dan saling percaya dikalangan masyarakat yang semula mempunyai pandangan negative bahkan permusuhan satu sama lain.
2. Berkembangnya bentuk kesarjanaan yang lebih simpatik dan bersahabat tentang islam, terutama dalam lingkungan academia Kristen barat.
3. Lompatan metodelogis dalam studi agama-agama.
9. Tantangan
Tantangan yang kita hadapi bukan bagaimana menyelamatkan agama dari keaneragaman teologi, misi, dan tradisi, melainkan bagaimana membangun komitmen menghargai perbedaan itu. Al-Qur’an sendiri hanya menganjurkan agar kita mencari-cari titik temu (kalimatun sawa’), bukan menyeragamkan perbedaan dalam teologi, ritual ataupun institusi, sebab keragaman itu memang desain Ilahi,
10. Agama dan Perbedaan
Kultur perdamaian dapat tumbuh, berkembang, dan membawa kita kepada masa depan yang lebih baik. kita memang menaruh harapan besar bahwa diaolog lintas agama akan memberi kontribusi signifikan terhadap pembentukan kultur perdamaian. Munculnya sejumlah gerakan social yang berjuang untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan damai

BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
1.      Pluralitas pemikiran Islam berlangsung semenjak perkembangan Islam hingga abad sekarang. Namun perlu dipahami bahwa beredarnya paham pluralitas pemikiran Islam tidak selamanya memberi sumbangsih demi kejayaan dan menghidupkan Islam tetapi justru dalam masa kontemporer ini paham tersebut meresahkan umat Islam dengan memperkeruh atau mengobok-obok ajaran Islam dengan pola pemikiran yang semakin plural.
2.      Akibat ekspansi umat Islam ke beberapa wilayah menuntut para ulama fiqih untuk berfikir mencari solusi dari persoalan yang muncul. Sedangkan, fiqih yang merupakan bagian dari hukum Islam senantiasa dinamis dalam perkembanganya hingga masa sekarang dan banyak para ulama yang berperan di dalamnya. Peran ulama dalam menyelesaikan persoalan yang muncul di wilayah satu dengan lainyapun beragam bentuknya, hal ini dengan mempertimbangkan kondisi yang berkembang di salah satu wilayah dimana ulama itu tinggal. Sebab itu, tidak heran jika banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama itu. Walaupun banyaknya ragam pendapat, para ulama dengan mazhabnya sangat toleran dan saling menghargai.
3.      Filasafat memberikan kontribusi penting dalam membawa Islam kemasa kejayaan dengan ditandai terbangunya sebuah peradaban yang besar dan mengagumkan.
4.      Tasawuf selaras dengan ajaran Islam mengenai penanaman pentingnya moralitas pada jiwa manusia.
5.     Perkembangan paham pluralitas pemikiran Islam dewasa ini justru eksistensinya membahayakan aqidah umat Islam di belahan dunia. Karena kebebasan berfikir yang plural menjadikan tatanan syariat dan hukum Islam cenderung diotak-atik menurut seleranya sendiri-sendiri. Hal ini patut untuk waspadai dan dieliminir keberadaan ajarannya.

DAFTAR PUSTAKA


Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Crisis in the Muslim Mind, 1st Edition. Herndon, Virginia: IIIT,  1983.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Islamization of Knowledge General Principles and Work Plan. Herndon, Virginia: IIIT,  1989.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Towards an Islamic Theory of International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd Edition. Herndon, Virginia: IIIT,  1994.
Anwar, Syamsul. “Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan Kepastian”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia. Yogyakarta: FSHI Fak. Syari’ah, 1994.
Anwar, Syamsul. “Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari Arah Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh”. Makalah Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry, Darussalam, Banda Aceh, 28 Agustus, 2002
Anwar, Syamsul. “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”, dalam Ainurrofiq (ed.), Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Usul Fiqh Komtemporer. Yogyakarta: Pustaka Ar-Ruz, 2002.
     Karim, Reza. 1974, 2. Arab Jatir Itihash. Dhaka. Bangla Academy.
     Khaldun, Ibn. 2001. Muqaddimah. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus.
   Rahman, Fazlur. 1985, Islam and Modernity: Transformation and Intelektual Tradirion, Terj.       
               Ahsin Muhammad, Bandung,  Pustaka.
     Wijdan Dkk, Aden. 2007, Pemikiran dan Peradaban Islam, Safirian Insan Press, Yogyakarta.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar