BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Sejarah membuktikan bahwa perkembangan pemikiran keislaman memiliki
riwayat yang cukup panjang dan berliku. Pemikiran tersebut terus menerus
berlangsung, karena proses kebudayaan masyarakat senantiasa berkembang dan
semakin kompleksnya segala persoalan yang ada ditengah masyarakat. Islam
sebagai agama yang diridoi Allah Swt mampu tampil adaptif terhadap realitas
kehidupan sosial masyarakat, walaupun tidak sedikit terdapat benturan terhadap
tatanan sosial, politik, budaya dan lain sebagainya.
Dalam konteks perkembangan pemikiran yang pluralis ini perlu untuk kita
waspadai, sebab dalam perkembangan kontemporer selama ini ternyata pemikiran
tersebut terdapat niatan untuk menghancurkan aqidah umat Islam melalui para
intelektual muslim itu sendiri. Semoga kajian pluralisme pemikiran Islam ini,
dapat memberi wawasan bagi kita dalam mewaspadai adanya gerakan-gerakan
pemikiran yang plural, yang aktor penggeraknya justru oleh kalangan cendikiawan
muslim untuk merusak Islam dan umat Islam.
Pluralitas agama sekarang ini telah menjadi suatu
keniscayaan dan mendesak agama - agama, untuk menghadapi dan mengubah paradigma
teologinya. Semua agama menurut Eka Darmaputera, tidak
hanya di desak untuk memikirkan sikap praktis untuk bergaul dengan agama yang
lain, tetapi juga didesak untuk memahami secara teologis apakah makna kehadiran
agama - agama dan kepercayaan - kepercayaan yang lain itu. Mengembangkan
teologi agama - agama bukan tanpa kesulitan dan resiko. Tantangan internalnya adalah teologi tradisional ( Barat ) yang berakar kuat serta resistensi fundamentalisme . Secara eksternal, pluralisme agama dicurigai sebagai misi terselubung untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus keengganan mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif, Akhirnya pada bagian refleksi, penulis mengutarakan pentingnya pluralisme agama dan dialog untuk dikembangkan guna menanggulangi masalah kemanusiaan kontemporer, menghadirkan kedamaian dan sekaligus dapat saling memperkaya kehidupan beriman dalam konteks majemuk Indonesia.
teologi agama - agama bukan tanpa kesulitan dan resiko. Tantangan internalnya adalah teologi tradisional ( Barat ) yang berakar kuat serta resistensi fundamentalisme . Secara eksternal, pluralisme agama dicurigai sebagai misi terselubung untuk mempertobatkan yang lain dan sekaligus keengganan mengakui bahwa kebenaran agamanya relatif, Akhirnya pada bagian refleksi, penulis mengutarakan pentingnya pluralisme agama dan dialog untuk dikembangkan guna menanggulangi masalah kemanusiaan kontemporer, menghadirkan kedamaian dan sekaligus dapat saling memperkaya kehidupan beriman dalam konteks majemuk Indonesia.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian Pluralisme
2. Pluralisme dalam kajian islam
3. Beberapa Dilema pluralisme
BAB II
PEMBAHASAN
Sejak kerasulan Muhammad Saw maka kajian mengenai ilmu pengetahuan maupun
ilmu-ilmu yang lainnya mulai mendapatkan perhatian, yang sebelumnya telah
meredup dan hal ini menjadi sesuatu hal yang sangat dibutuhkan dalam membangun
sebuah peradaban suatu bangsa. Dengan turunnya wahyu al qur’an secara
berangsur-angsur dan sebagai parnernya sunah rasulullah Saw, maka hal ini menjadikan
ilmu pengetahuan semakin semarak untuk dikaji oleh kalangan umat Islam itu
sendiri. Sehingga mampu melahirkan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang hingga
sekarang terus mengalami perkembangan yang berdampak untuk kemaslahatan umat
manusia dibumi.
Seiring dengan perluasan Islam ke berbagai negeri, ternyata ilmu-ilmu
yang bernuansa Islam turut serta memperkaya khazanah intelektual muslim dengan
ditandai banyaknya tokoh-tokoh Islam yang ahli dalam berbagai bidang ilmu.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa perkembangan ilmu pengetahuan juga
dipengaruhi oleh pemikiran dari kaum non muslim, sebab berbagai keilmuan maupun
budaya dalam Islam dibarengi dengan ekspansinya ke berbagai wilayah. Islam
mampu berinteraksi dengan budaya-budaya lokal atau budaya setempat bahkan
terhadap ilmu pengetahuan selama budaya tersebut tidak menyalahi dari koridor
ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw.
Pluralitas pemikiran Islam berlangsung sejak perkembangan Islam hingga
abad sekarang. Namun perlu dipahami bahwa beredarnya paham pluralitas pemikiran
Islam tidak selamanya memberi sumbangsih demi kejayaan dan menghidupkan Islam
tetapi justru dalam masa kontemporer ini paham tersebut meresahkan umat Islam
dengan memperkeruh atau mengobok-obok ajaran Islam dengan pola pemikiran yang
semakin plural. Akan tetapi dari pemikiran yang plural tidak semuanya itu
buruk, asalkan saja pemikiran tersebut tidak menyimpang dari hukum Islam.
1. Pengertian Pluralisme
Pluralisme
berasal ari kata “plural” yang berarti kemajemukan atau keanekaragaman dan
“isme” yang berarti paham, jadi pluralism adalah paham kemajemukan.
2. Pluralisme atau Kemajemukan
·
Sikap dasar yang seharusnya dikembangkan adalah
sikap bersedia untuk menghargai adanya perbedaan masing-masing anggota
masyarakat.
·
Perbedaan dipandang sebagai hak fundamental dari
setiap anggota masyarakat dan menuntut anggotanya untuk menjaga, menghargai dan
menumbuhkan nya
3. Pluralisme dalam kajian studi islam
·
Musa Asy’ariè sesungguhnya berbeda dengan orang
lain bukanlah suatu kesalahan, apalagi kejahatan , namun sangat diperlukan.
·
Al-Qur’an mengajarkan kepada kepada kita akan
penting dan perlunya memberlakukan perbedaan dan Pluralisme secara arif yaitu
untuk mengenal dan belajar atas adanya perbedaan dan Pluralitas untuk saling
membangun dan memperkuat saling pengertian dan tidak melihat dalam perspektif
tinggi dan rendah ataupun baik dan buruknya .
·
Al-Qur’an juga menganjurkan kepada kita untuk
dapat menjaga dan mengembangkan musyawarah.
·
Musyawarah yang di anjurkan adalah musyawarah
yang dilakukan secara tulus dan ikhlas bukan yang basa-basi yang selama ini
berkembang dalam iklim kehidupan politik yang represif yang akhirnya
hanya melahirkan kesepakatan yang kosong hanya ada diatas kertas tetapi tidak
dijalankan dalam aktualitas kehidupan bersama dan tidak melahirkan dampak yang
mententramkan bagi kehidupan masyarakat.
Berikut kami sajikan beberapa varian pemikiran Islam yang berkembang
dalam masa perkembangan Islam :
A. Pemikiran Kalam
(teologi)
Kalam atau teologi menurut Ibnu Khaldun didefinisikan sebagai ilmu yang
mempergunakan bukti-bukti logis dalam memper-tahankan aqidah keimanan dan
menolak pembaharu yang menyimpang dari dogma yang dianut kaum muslim pertama
dan ortodoksi muslim.
Permasalahan yang muncul hingga terjadinya keretakan dikalangan kaum
muslim sesaat ketika wafatnya Nabi Muhammad Saw ialah perkara keabsahan
siapakah pengganti pemegang otoritas kekuasaan atau khalifah setelah kepergian
beliau Saw.
Kemudian hingga pada masa kekhalifahan Usman bin Affan, muncul isu
siapakah yang lebih berhak menggantikan Nabi (khalifah) dan isu ini semakin
mengemuka dan menjadi perbincangan bagi para pemuka maupun masyarakatnya.
Puncaknya pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib umat Islam mengalami perpecahan
dan perseteruan hingga mengalirnya darah kaum muslimin yaitu antara khalifah
Ali bin Abi Thalib yang merupakan sepupu sekaligus menantu Nabi Saw dengan
kubunya Muawiyah yang juga sebagai kerabat khalifah sekaligus gubernur Damaskus
di masa itu.
Berlatarbelakang dari permasalahan tersebut, sekelompok umat Islam mulai
berani membuat analisis mengenai kasus pembunuhan khalifah Usman bin Affan.
Apakah bagi pembunuhnya berdosa ataukah tidak, analisa yang lainya mengenai
perbuatan pembunuhan itu apakah pelakunya digerakkan oleh dirinya sendiri atau
digerakkan oleh Tuhan. Kalangan umat Islam menduga, berawal dari persengketaan
inilah yang merupakan cikal bakal tumbuhnya beberapa paham yang kita hingga
sekarang yang dikenal dengan sebutan jabariyah dan qodariyah. Akibat suasana
yang semakin tidak kondusif tersebut membuat kaum muslimin memutar pikirannya
untuk mencarikan solusinya, hingga sampai terjadi peristiwa arbitrase yaitu
upaya penyelesaian persengketaan antara khalifah Ali bin Abi Thalib dengan
Aisyah pada perang jamal dan sengketa antara khalifah Ali bin Abi Thalib Muawiyah bin Abu Sufyan
Upaya perdamaian pada perang shiffin antara Ali bin Abi Thalib dengan
Muawiyah, ternyata upaya tersebut tidak dapat diterima oleh sebagian pendukung
Ali bin Abi Thalib. Akibat dari tahkim itu kubu pendukung khalifah Ali bin Abi
Thalib terpecah, sedangkan kelompok yang memisahkan dari barisan khalifah Ali
bin Abi Thalib dikenal dengan sebutan Khawarij. Khawarij yang dipelopori
Abdullah bin Wahab al Rasybi, berfatwa bahwa orang yang terlibat dalam tahkim
baik menyetujui bahkan melaksanakanya dinyatakan berdosa besar dan setiap yang
berdosa besar dianggap tidak berhukum dengan hukum Allah, maka ia dihukumi
kafir. Persoalan penentuan kafir maupun tidak kafir sudah masuk ranah aqidah
bukan sekadar persoalan politik. Karena timbulnya keresahan akibat fatwa
golongan khawarij, maka sebagian umat Islam yang lain secara tegas menolaknya,
dengan argumentasi bahwa fatwa tersebut tidak dilandasi nash dalam al qur’an
maupun sunah maka kepastian hukumya ditunda dahulu dan diserahkan kepada Allah
di negeri akhirat kelak. Disamping itu muncul reaksi lain yang memberikan
dukungan kepada khalifah Ali bin Abi Thalib bahkan secara berlebihan mereka
mengagung-agungkan Ali bin Abi Thalib, kelompok ini dikenal dengan nama
golongan Syiah. Bermula dari analisa-analisa pemikiran tersebut hingga
terlahirlah banyak corak aliran kalam dalam Islam. Dapat disimpulkan bahwa
faktor politik cukup dominan dalam mempengaruhi munculnya pluralitas pada ilmu
kalam.
B. Pemikiran Fiqih
Islam merupakan agama konstitusi yang mampu mengatur kehidupan umat
manusia, dan hal ini tidak dimiliki oleh pedoman kitab-kitab lain yang ada di
dunia. Islam ajarannya menuntut untuk ditegakkanya keadilam sosial masyarakat.
Oleh sebab itu, dengan banyak permasalahan yang muncul di tengah-tengah
kehidupan manusia, sehingga ajaran Islam melalui cabang ilmu fiqihnya mempunyai
peranan cukup penting dalam memberikan solusi yang timbul di masyarakat.
Pada masa rasulullah Saw segala permasalahan yang muncul dan belum
diketahui jawabanya maka kepastian jawaban sebagai alternatif solusinya dapat
langsung ditanyakan kepada baginda rasulullah Saw. Sepeninggal beliau wilayah
Islam terus mengalami perkembangan melalui ekspansi ke berbagai penjuru dunia,
sehingga hal ini tentunya semakin banyaknya persoalan yang cukup rumit yang
ditemui oleh umat Islam. Dengan demikian, tokoh-tokoh Islam dituntut
pemikiranya dalam menghadapi segala persoalan yang ada, dengan kembali kepada
al-qur’an dan sunah hingga melakukan ijtihad.
Pemikiran ilmu fiqih sebagai klasifikasinya dalam mengatur perilaku
kehidupan umat manusia. Sebagai contohnya, hukum ibadah mengatur hubungan antar
individu dengan Allah Swt. Hukum keluarga mengatur antar individu dengan
individu dalam keluarga. Hukum kebendaan dan kewarisan mengatur hubungan antar
individu dengan dalam hal kebendaan, komunitas dan Negara. Hukum perkawinan
mengatur hubungan antara individu dengan individu untuk melindungi kehormatan
dan keturunan. Hukum pidana mengatur lalulintas antarhubungan yang menjamin
kemanan dan ketertiban masyarakat dan bernegara melalui sistem sanksi. Hukum
tata negara mengatur hubungan dan tata cara pengaturan Negara, pemerintahan,
hubungan antar negara dan bangsa.
Fiqih yang merupakan bagian dari hukum Islam senantiasa dinamis dalam
perkembangnya hingga masa sekarang dan banyak para ulama yang berperan di
dalamnya. Peran ulama dalam menyelesaikan persoalan yang muncul di wilayah satu
dengan lainyapun beragam bentuknya, hal ini dengan mempertimbangkan kondisi
yang berkembang di salah satu wilayah dimana ulama itu tinggal. Sebab itu,
tidak heran jika banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama itu. Walaupun
banyaknya ragam pendapat, para ulama/dengan mazhabnya sangat toleran dan saling
menghargai. Misalnya Imam Syafi’I menyatakan: “pendapat saya benar, tapi
mungkin juga salah. Sebaliknya pendapat orang lain salah, tapi bisa juga benar.
Secara umum, perkembangan pemikiran dalam bidang fiqih terbagi dalam
beberapa tahapan yaitu:
ü Tahap
pertama adalah pembentukan yang dimulai pada masa kerasulan Muhammad Saw, masa
khufa’ur rasyidin, hingga paruh pertama abad Hijriah.
ü Tahap
kedua adalah masa pembentukan fiqih yang dimulai pada paruh pertama abad 1 H
Hingga awal abad ke 2 H. Tahap ini fiqih terpola melalui mazhab.
ü Tahap
ketiga adalah pematangan bentuk yang dimulai sejak awal abad 2H hingga
pertengahan abad 4H. Masa ini, ijtihad dalam bentuk fiqih dikodifikasi dan
dilengakpi dengan ilmu ushul fiqih.
ü Tahap
keempat adalah masa kemunduran fiqih yang ditandai oleh dua peristiwa penting
jatuhnya Baghdad
dan ditutupnya pintu ijtihad oleh para ulama.
ü Tahap
kelima adalah munculnya kesadaran akan pentingnya kitab hukum Islam yang mudah
dioperasionalkan dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat dan Negara.
C. Pemikiran Filsafat
Filsafat dan agama merupakan dua pendekatan mendasar menuju pada
kebenaran. Apa yang hendak dibedakan dengan tajam disini bukanlah filsafat,
yang dipahami adalah sistem rasional pemahaman dan wahyu atau agama dipahami
secara totalitas. Pemikiran filosofis masuk kedalam Islam melalui filsafat
yunani yang dijumpai ahli-ahli fiqih Islam di Suria, Mesopotamia, Persia, dan
Mesir, seiring dengan ekspansi Alexander yang Agung keTimur pada abad ke IV SM.
Eksistensi filsafat sebagai bagian yang sah dalam Islam terdapat varian
yang beragam pandangan. Bahkan keberadaanya justru seringkali dicurigai hingga
dimusuhi, karena dianggap sebagai saingan agama. Fazlur rahman berpendapat
“filsafat bukanlah saingan agama atau teologi, sebagaimana yang digencarkan
oleh kelompok revivalisme atau ortodoksi Islam. Filsafat pasti berguna baginya,
karena tujuan teologi adalah membangun suatu pandangan dunia berdasarkan
al-qur’an dengan bantuan alat-alat intelektual yang separonya disediakan oleh
filsafat”.
Tradisi berfikir filsafat yang kuat dalam Islam telah menghantarkan umat
Islam memasuki keemasanya sebagai pusat peradaban dunia selama berabad-abad.
Dengan landasan keyakinan yang kuat terhadap kebenaran ajaran Islam menjadikan
umat Islam masa itu tidak takut terhadap jenis pemikiran yang bagaimanapun
liarnya.
Peranan pemikiran filsafat dalam Islam terbukti mampu membangkitkan dan
menghidupan Islam dengan kejayaan dan berhasil membangun sebuah peradaban yang
cukup cemerlang hingga dikenang sepanjang zaman. Eksistensi filsafat dalam
Islam menggugah para tokoh atau ulama Islam terinspirasi dan termotivasi untuk
mempelajari dan mengembangkanya hingga banyak sekali karya-karya yang berhasil
ditemukan dan diciptakan. Berbagai karya dari para filsuf-filsuf kenamaan tersebut
diantaranya ialah :
o Al-Kindi
bukan hanya sebagai filsuf tetapi juga ilmuan yang menguasai ilmu-imu
pengetahuan pada zamanya. Karya-karyanya antara lain: matematika, geometri,
astronomi, pharmacology, ilmu hitung, ilmu jiwa, optik, politik, musik dan
sebagainya.
o Al-Farabi,
menulis buku mengenai ilmu manthiq, ilmu politik, etika, fisika, ilmu jiwa,
metafisika, matematika, kimia, musik dan sebagainya.
D. Tasawuf
Tasawuf adalah falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku
manusia dalam upayanya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang
hakekat realistis dan kebahagiaan rohaniah. Secara singkat tasawuf adalah
moral, moral adalah jiwa agama.
Tasawuf merupakan yang terdiri atas kondisi dan maqam-maqam, yang satu
sama lain saling merupakan anak tangga. Orang yang ingin menjadi sufi memulai
langkah dengan membersihkan jiwanya, agar bisa mejadi orang yang berhak
menerima penampakan (tajalli), selalu meningkat hingga dapat merasakan adanya
Allah direlung jiwanya dan demikian dekat dengan-Nya.
Demikianlah ulasan
global mengenai pluralitas pemikiran Islam yang berkembang dimasa-masa
perkembangan dan kejayaan Islam hingga abad sekarang. Adapun perkembangan
pluralitas pemikiran Islam dewasa ini justru eksistensinya membahayakan umat
Islam di belahan dunia. Karena kebebasan berfikir yang plural menjadikan
tatanan syariat dan hukum Islam cenderung diotak-atik menurut seleranya
sendiri-sendiri. Sebagai misal, umat Islam diminta untuk toleran dalam
peribadatan kaum non-muslim dengan sama-sama merayakan hari besar mereka
(natal), terbitnya buku fiqih lintas agama, mengubah tata cara dalam beribadah
dan lain sebagainya. Pemikiran yang semacam ini tentunya harus diwaspadai dan
dieliminir keberadaannya agar tidak merusak aqidah dan syariat Islam.
4. Islam dan Tantangan Pluralisme agama
1. Perkembangan
spiritual dan materitual
a. Bukanlah hal yang sulit bagi Allah
untuk membuat umat manusia menjadi satu komunitas tetapi Allah memberi Rahmat
dengan Pluralisme dengan menambah kekayaan dan keberagaman hidup
b. Setiap komunitas mempunyai jalan hidup
kebiasaan tradisi dan hukumnya sendiri dan semua hukum dan cara hidup itu haruslah menjamin perkembangan dan
memperkaya hidup walaupun berbeda satu sama lain.
c. Allah tidak memaksakan satu hukum untuk
semuanya dan sebaliknya menciptakan banyak pluralitas.
d. Allah tidak menciptakan banyak pluralitas dengan sesuatu tujuan yaitu untuk menguji
umat manusia atas apa yang telah diberikan kepada mereka (misalnya perbedaan
kitab suci, hukum, dan jalan
hidup). Tujuan itu adalah untuk hidup secara damai dan harmonis sesuai kehendah Allah. Perbedaan
hukum dan jalan hendahnya tidak menjadi penyebab ketidakharmonisan dan
perbedaan yang diharapkan dari manusia adalah hidup degan segala perbedaan
& berlomba-lomba satu sama lain dalam amal kebaikan.
2. Menghormati
tempat-tempat ibadah
Sebagai konsekuensi
semua tempat ibadah harus dihormati dan dilindungi, al-Qur’an menyebutkan bahwa
di dalam tempat-tempat ibadah baik itu gereja, tempat ibadah orang yahudi atau
masjid banyak disebut nama Allah. Bagian yang paling konkrit & signifikan. Tidak ada
tempat ibadah agama yang lebih istimewa.
3. Civil society yang
Pluralis
Islam
betul-betul berupaya mengembangkan civil society yang pluralis dan menjamin
martabat dan kebebasan setiap orang
Karena
teori-teori ini self contradiction dan reduksionisme yang pada dirinya akhirnya
berseberangan dengan tujuan yang semula direncanakan bukannya toleran tapi
malah berubah menjadi intoleran dan bengis terhadap perbedaan agama lebih dari
itu teori cenderung mengeliminasi dan menekan “kelainan yang lain-lain” (the
otherness of the others). Tren-tren pluralism agama lebih merupakan ‘masalah’
baru daripada sebuah solusi
5. Pluralism ditilik dari nalar kritis
dan historis
·
Fenomena pluralitas agama telah banyak menyita
perhatian para teolog, filosof, pemikir, budayawan, akademisi dan kaum
cerdik-cendekiawan
·
Solusi yang ditawarkan oleh kaum pluralis muslim
atas isu kemajemukan tentu saja tampak menarik, meyakinkan dan promising namun
kajian yang kritis dan mendalam terhadap argument dan nalar yang dikembangkan
menunjukkan adanya kelemahan yang sangat mendasar, baik dari segi metodeologi
maupun subtansi, diantaranya :
a. Inkonsistensi
b. Reduksi
kerancuan nalar kritis pluralism agama
Menurut Jonh Hick ada 2 hal:
a.
Gagasan pluralism agama tidak monolitik, dalam pengertian terdapat pluralitas
dalam pluralisme agama.
b.
Pluralism memang meniscayakan keragaman dan divercity bukan persamaan namun
perbedaan itu bukan saling dibenturkan melainkan dimaknai sebagai desain Ilahi
dan kebjakan social sehingga memunculkan sifat inklusif dan apresiasif.
- Dalam al-Qur’an ada 3 sikap terhadap non muslim:
a.
Positif
b.
Netral
c.
Negative
- Pernyataan pluralitas masyarakat, masing-masing agama hidup dalam splendid isolution (keterasingan sempurna) dan different tolerance (toleransi acuh tak acuh) belum beranjak ketingkat meet each other to learn from and help each other (bertemu untuk belajar dan menolong satu sama lain) sehingga sangat mudah di manfaatkan kelompok-kelompok kepentingan untuk mewujudkan ambisi-ambisi politik social.
- Umat beragama belum melakukan learn from and help each other biasanya cenderung eksklusif dan memandang hubungan antar agama dengan kacamata “superior” dan “inferior”
6. Dari Pluralism ke Dialog Agama
1. Islam dan
Pluralisme
Kesamaan
pandangan mengenai pluralism yakni menerima keragaman sebagai fakta sejarah dan
social. Dekage terakhir gagasan-gagasan yang memihak dialog dan pluralisme agam mulai mendapat perhatian.
Pemikiran muslim modernis dan liberal menganggap pluralism sebagai bagian dari
desain dari Ilahi dank arena itu melambang kekayaan.
2. Komitmen
Dialog
Untuk
dapat mengakui, mentolelir, mempertahankan dan bahkan mendorong pluralism
agama, seseorang tidak perlu meninggalkan komitmennya terhadap agamanya
sendiri. Secara pskologis tanpa komitmen dan loyalitas, kita tidak akan bisa mengartikulasikan secara bermakna
perihal religious personality atau religious community. Perbicaraan tentang
pluralitas dan dialog agama akan sangat berarti apabiala terjadi dikalangan
orang-orang yang punya komitmen
7. Model Dialog Antar Agama
1. Signifikansi
dialog
Paradigma
keagamaan telah terpatri dan teraplikasi dalam kehidupan beragama, maka model
dialog agama yang dianggap sesuai karakter dan sosio cultural masyarakat
setempat dapat dilalui dalam sebuah musyawarah dan kesepakatan bersama antar
mereka yang berbeda agama.
2. Model dialog
Muhammad Jafar
menegaskan 3 model dialog :
1. Parliamentary dialogue (dialog
parlementer)
2. Institutional dialogue (dioalog
kelembagaan)
3. Dialogue in community (dialog dalam
masyarakat) dan dialog oflife (dialog kehidupan)
Muhtadin
menawarkan suatu pendekatan cultural sebagai mekanisme dialog agama yang sangat penting dan lebih mengena.
8. Dilemma Pluralism Dan Dialog Agama
1. Terkesan
elitis
Dalam
lingkup yang lebih luas, gagasan pluralism dan inklusivisme hendaknya
dikembangkan sebagai wacana public melalui intensifikasi pnyelenggara ekskusi,
seminar dsb guna mengenalkan identitas agama-agama dan alirannya dengan
perspektif wawasan yang lebih terbuka dan tidak fanatic.
2. Bias politik
Kerukunan
dan persaudaraan antar agama seringkali tercabik oleh perbedaan orientas
politik tokoh-tokok keagamaan
Intergritas Dialog
Antar Agama
·
Hal positif dari aktivitas dialog lintas agama
1.
Berkumpulnya orang-orang dari berbagai keyakinan yang berbeda dan tumbuhnya
semangat persahabatan, dan saling percaya dikalangan masyarakat yang semula
mempunyai pandangan negative bahkan permusuhan satu sama lain.
2.
Berkembangnya bentuk kesarjanaan yang lebih simpatik dan bersahabat tentang
islam, terutama dalam lingkungan academia Kristen barat.
3.
Lompatan metodelogis dalam studi agama-agama.
9. Tantangan
Tantangan
yang kita hadapi bukan bagaimana menyelamatkan agama dari keaneragaman teologi,
misi, dan tradisi, melainkan bagaimana membangun komitmen menghargai perbedaan
itu. Al-Qur’an sendiri hanya menganjurkan agar kita mencari-cari titik temu
(kalimatun sawa’), bukan menyeragamkan perbedaan dalam teologi, ritual ataupun
institusi, sebab keragaman itu memang desain Ilahi,
10.
Agama dan Perbedaan
Kultur
perdamaian dapat tumbuh, berkembang, dan membawa kita kepada masa depan yang
lebih baik. kita memang menaruh harapan besar bahwa diaolog lintas agama akan
memberi kontribusi signifikan terhadap
pembentukan kultur perdamaian. Munculnya sejumlah gerakan social yang berjuang
untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan damai
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1.
Pluralitas pemikiran Islam berlangsung semenjak perkembangan Islam
hingga abad sekarang. Namun perlu dipahami bahwa beredarnya paham pluralitas
pemikiran Islam tidak selamanya memberi sumbangsih demi kejayaan dan
menghidupkan Islam tetapi justru dalam masa kontemporer ini paham tersebut
meresahkan umat Islam dengan memperkeruh atau mengobok-obok ajaran Islam dengan
pola pemikiran yang semakin plural.
2.
Akibat ekspansi umat Islam ke beberapa wilayah menuntut para ulama fiqih
untuk berfikir mencari solusi dari persoalan yang muncul. Sedangkan, fiqih yang
merupakan bagian dari hukum Islam senantiasa dinamis dalam perkembanganya
hingga masa sekarang dan banyak para ulama yang berperan di dalamnya. Peran
ulama dalam menyelesaikan persoalan yang muncul di wilayah satu dengan
lainyapun beragam bentuknya, hal ini dengan mempertimbangkan kondisi yang
berkembang di salah satu wilayah dimana ulama itu tinggal. Sebab itu, tidak
heran jika banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama itu. Walaupun banyaknya
ragam pendapat, para ulama dengan mazhabnya sangat toleran dan saling
menghargai.
3.
Filasafat memberikan kontribusi penting dalam membawa Islam kemasa
kejayaan dengan ditandai terbangunya sebuah peradaban yang besar dan
mengagumkan.
4.
Tasawuf selaras dengan ajaran Islam mengenai penanaman pentingnya
moralitas pada jiwa manusia.
5. Perkembangan
paham pluralitas pemikiran Islam dewasa ini justru eksistensinya membahayakan
aqidah umat Islam di belahan dunia. Karena kebebasan berfikir yang plural
menjadikan tatanan syariat dan hukum Islam cenderung diotak-atik menurut
seleranya sendiri-sendiri. Hal ini patut untuk waspadai dan dieliminir
keberadaan ajarannya.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Crisis in the Muslim Mind,
1st Edition. Herndon, Virginia: IIIT, 1983.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Islamization of Knowledge
General Principles and Work Plan. Herndon, Virginia: IIIT, 1989.
Abu Sulayman, Abdul Hamid A. Towards an Islamic Theory of
International Relation: New Direction for Methodology and Thought, 2nd
Edition. Herndon, Virginia: IIIT, 1994.
Anwar, Syamsul. “Epistemologi Hukum Islam Probabilitas dan
Kepastian”, dalam Yudian W. Asmin (ed.), Ke Arah Fiqh Indonesia.
Yogyakarta: FSHI Fak. Syari’ah, 1994.
Anwar, Syamsul. “Paradigma Fikih Kontemporer: Mencari Arah
Baru Telaah Hukum Islam Pada Program S3 PPS IAIN Ar-Raniry Banda Aceh”. Makalah
Lokakarya Program Doktor Fikih Kontemporer pada Pascasarjana IAIN Ar-Raniry,
Darussalam, Banda Aceh, 28 Agustus, 2002
Anwar, Syamsul. “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam”,
dalam Ainurrofiq (ed.), Madzhab Jogja Menggagas Paradigma Usul Fiqh
Komtemporer. Yogyakarta: Pustaka Ar-Ruz, 2002.
Karim, Reza. 1974, 2. Arab
Jatir Itihash. Dhaka. Bangla Academy.
Khaldun, Ibn. 2001. Muqaddimah. Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Rahman,
Fazlur. 1985, Islam and Modernity: Transformation and Intelektual
Tradirion, Terj.
Ahsin Muhammad, Bandung,
Pustaka.
Wijdan Dkk, Aden.
2007, Pemikiran dan Peradaban Islam, Safirian Insan Press, Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar