BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah
penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt
untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya,
dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam
sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsif-prinsif
dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan
jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu,
seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan
adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan
hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi
para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan
secara sharih dalam nash-nash tersebut.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalahini.
Dan jika kita berbicara tentang ijtihad, maka sisi ra’yu (logika-logika yang benar) adalah hal yang tidak dapat dilepaskan darinya. Karena itu, dalam Ushul Fiqih sebuah ilmu yang “mengatur” proses ijtihad dikenallah beberapa landasan penetapan hukum yang berlandaskan pada penggunaan kemampuan ra’yu para fuqaha. Dan salah satunya adalah istishhab yang akan dibahas dan diuraikan secara singkat dalam makalahini.
B. Rumusan
Masalah
Berangkat dari
latar belakang masalah di atas maka permasalahan yang dapat kami penulis
rumuskan adalah sebagai berikut :
- Apa pengertian istishhab itu?
- Apa kehujahan istishhab itu.
- Apa macam-macam istishhab itu.?
C . Tujuan
Penulisan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan penulisan dari makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui pengertian istishhab itu.
2. Untuk mengetahui kehujahan istishhab itu.
3. Untuk
mengetahui macam-macam istishhab itu.
D. Sistematika
Penulisan
Sistematika penulisan makalah ini dibagi menjadi 3 bab, yaitu :
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II ISTISHHAB
Istishhab berisi uraian tentang pengertian Istishhab, kehujahan istishhab dan macam-macam istishhab.
BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka berisi referensi kami penulis dalam menyusun makalah ini.
BAB I PENDAHULUAN
Pendahuluan berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II ISTISHHAB
Istishhab berisi uraian tentang pengertian Istishhab, kehujahan istishhab dan macam-macam istishhab.
BAB III PENUTUP
Penutup berisi tentang kesimpulan dan saran.
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Pustaka berisi referensi kami penulis dalam menyusun makalah ini.
BAB II
ISTISHHAB
Pendahuluan
عن أبى أمامة الباهليّ عن رسول لله صلّى الله عليه و سلم قال : لينقضنّ
عرى الاسلام عروة عروة فكلّما انتقضت عروة تشبّث النّاس بالّتى تليها و اوّلهنّ
نقضا الحكم و أخرهنّ الصّلاة ( رواه احمد )
” Dari Abi Umamah Al-Bahily dari
Rasulullah Saw. Beliau bersabda : ”
Untaian tali-tali Islam ini akan terurai satu persatu, setiap kali satu untaian
terurai maka orang-orang berpegang pada untaian berikutnya. Dan untaian yang
terurai pertama kali adalah hukum, sedangkan yang terakhir adalah shalat .” (
HR.Ahmad ).
Berangkat dari pijakan Hadits di atas, maka kita
senantiasa meyakini akan terjadinya suatu keadaan seperti yang di gambarkan
Rasulullah beberapa abad silam lamanya yaitu syari’at islam sedikit demi
sedikit akan hilang dari para pemeluknya sehingga suatu saat nanti akan asing
melihat orang yang menjalankan syari’at Islam .
Pada masa Khulafa Ar-Rasyidin pernah terjadi
adanya yang tidak mau membayar zakat, sehingga sampai diperangi. Masa
kini mungkin akan semakin banyak penyimpangan –penyimpangan terhadap syari’at
Islam di Mesir, Rifa’ah Al-Tafthawi (1800-1873), yang tinggal 7 tahun di Paris
dan kembali ke Mesir pada tahun 1983, adalah peletak batu pertama dalam
memusuhi hijab dengan menghalalkan dansa antara antara laki-laki dan perempuan. di Indonesia
penyimpangan-penyimpangan syari’at Islam mungkin akan semakin pelik dan
beragam, dengan lahirnya sebuah kelompok yang suka merasionalisasikan urusan yaitu
: Jaringan Islam Liberal ( JIL) sampai saat ini mereka paling giat
mengotak-atik teks al-Quran sehingga tak sedikit ayat al-Quran yang mereka
langkahi dan mengedapankan rasio mereka dengan dalih itu untuk kemaslahatan
manusia walaupun pastilah mereka tahu akan akibat dari apa yang mereka lakukan
seperti tertulis di sebuah hadits : barang siapa yang menafsirkan al-Quran
dengan menggunakan rasio atau tanpa ilmu maka bersiap-siaplah untuk menempati
neraka. “
Bukan tidak boleh kita
melakukan itu. akan tetapi, akal kita harus selaras dengan syari’at bukan
syari’at yang harus menyelaraskan dengan akal. itu yang harus jadi pegangan
kita. Kewajiban kita untuk membahas kaidah-kaidah yang membangun hukum
mudah-mudahan banyak dari mereka menyadari kesalahan-kesalahan mereka dalam
mengaplikasikan hukum yang mereka yakini. itu yang terbaik dan itu pula harus
menjadi penggugah bagi kita untuk terus mengkaji dan merealisasikan syari’at di
kehidupan sehari-sehari sehingga kita bisa menjadi golongan yang selamat di
dunia dan akhirat. Amin
Al-Quran dan Terjemahnya, Majma malik Fahd li at-Thiba’ah
al-Mushhaf asy-Syarif, Madinah Munawwarah, 1990.
A. Pengertian Istishhab
Istishhab secara
etimologi adalah isim masdar dari istashhaba yastashhibu istishhaban diambil
dari “استفعال من الصّحبة ” yang
berarti thalab as-shuhbah atau mencari hubungan atau adanya saling
keterkaitan.
Sedangkan istishhab
secara terminologi :
Ibnu Qoyyim Aj-Jauziy mengistilahkan :
استدامة اثبات ما كان ثابتا او نفي ما كان منفيّا
” tetapnya sebuah ketentuan yang
sebelumnya sudah menjadi suatu ketentuan atau tetapnya sebuah larangan yang
sebelumnya sudah menjadi larangan. “
Imam Asy-Syaukani mengistilahkan :
الاستصحاب هو بقاء الامر ما لم يوجد ما يغيّره
” Tetapnya sesuatu perkara selama tidak ada dalil yang merubahnya.” Istilah
ini bisa dipahami dengan makna : apa yang sudah ditetapkan pada masa lalu pada
dasarnya merupakan sebagai sebuah ketetapan pula pada masa yang akan datang. ”
Ibnu Hazm membuat definisi ishtishhab :
الاستصحاب هو بقاء حكم الأصل الثّابت بالنصوص حتّى يقوم الدّليل منها
على التّغيير
” Tetapnya hukum asal yang ditetapkan oleh
nushush sehingga ada dalil dari nushush tersebut yang merubahnya “
B. Pembagian Ishtishhab
Muhammad Abu Zahroh
membagi Istishhab menjadi 4 bagian :
1. Istishhab
al-Bara`ah al-Ashliyyah dapat dipahami dengan contoh sebagai berikut :
seperti
tidak adanya kewajiban melaksanakan syari’at bagi manusia, sehingga ada dalil
yang menunjukan dia wajib melaksanakan kewajiban tersebut,. Maka apabila dia
masih kecil maka dalilnya adalah ketika dia sudah baligh.
Muhammad Abu Zahrah,
Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr Al-’Arabi, Kairo.
2. Ishtishhab ma
dalla asy-Syar’i au al-’Aqli ‘ala Wujudih bisa dipahami yaitu bahwa nash
menetapkan suatu hukum dan akal pun membenarkan (menguatkan ) sehingga ada
dalil yang menghilangkan hukum tersebut. Seperti dalam contoh : seperti dalam
pernikahan bahwa pernikahan itu akan tetap sah ketika belum ada dalil yang
menunjukan telah berpisah seperti dengan men-talaq.
3. Istishhab
al-hukmi bisa dipahami apabila hukum itu menunjukan pada dua terma yaitu
boleh atau dilarang, maka itu tetap di bolehkan sehingga ada dalil yang
mengharamkan dari perkara yang diperbolehkan tersebut, begitu juga sebaliknya.
Seperti dalam sebuah ayat Allah Swt, berfirman :
” Dia-lah yang menjadikan segala yang ada dibumi
untuk kamu…” ( QS. 02:29
)
Maka setiap apa yang ada di muka bumi ini pada
asalnya adalah boleh sehingga ada dalil yang melarangnya.
4. Istishhab al-Washfi dipahami dengan
menetapkan sifat asal pada sesuatu, seperti tetapnya sifat hidup bagi orang
hilang sehingga ada dalil yang menunjukan bahwa dia telah meninggal, dan tetapnya
sifat suci bagi air selama belum ada najis yang merubahnya baik itu warna,rasa
atau baunya.
Ibnu Qoyim aj-Jauziy membagi menjadi tiga bagian :
Dua dari tiga pembagian itu sudah tercakup
oleh yang dibagi oleh Muhammad Abu Zahrah pada no 1dan 4, ada satu yang beda
yaitu : Ishtishhab hukmi al-Ijma’ fi Mahalli an-Naza’ dimana pada suatu
keadaan mereka ( sahabat ) sepakat kemudian keadaan itu berubah, maka hukum
yang lama itu selaras dengan keadaan yang baru, sehingga ada dalil yang
menunjukan ada hukum yang menghususkan bagi keadaan tersebut.
Seperti : orang yang bertayamum melihat
air ketika masih melaksanakan shalat, maka shalatnya tetap sah ditetapkan
dengan menggunakan istishhab ijma yang menetapkan sah nya shalatnya orang yang
bertayamum sehingga ada dalil bahwa melihat air membatalkan shalatnya orang
yang bertayamum.
Dr.
Muhammad Baltaji, Manahij at-Tasri’ al-Islami fi al-Qorni ats-Tsani al-Hijry,
Maktabah al-Balad al-Amin, Kairo, 2000.
C. Dalil-dalil Aplikasi Istishhab
Dalil Naqli :
Al-Quran
Ayat yang digunakan dalam aplikasi
istishab yaitu dengan memperhatikan (istiqra) ayat-ayat yang menjelaskan
tentang hukum syara dan itu tetap selama tidak ada dalil yang merubahnya.
Seperti haramnya alkohol di tetapkan oleh
al-quran yang menjelaskan haramnya khomer, apabila sudah berubah sifatnya
menjadi al-khol ( cuka ) maka itu tidak haram lagi karena sudah hilang sifat
memabukannya.
” Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar (arak), berjudi, ( berkorban untuk) berhala,
mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan syaitan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”. ( QS. O5 : 90 )
As-Sunnah
Dari Abi Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda
: Apabila salah seorang diantara kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia
ragu apakah keluar sesuatu atau tidak, maka janganlah keluar meninggalkan
mesjid sehingga terdengar suara, atau keluar angin. ( HR. Muslim )
Dalil ‘Aqli :
Secara naluriah akal kita bisa
menghukumi segala sesuatu boleh atau tidak, ada dan tiada dengan melihat pada
asal mulanya. selama belum ada dalil yang mengingkari sebaliknya, maka itu
tetap di hukumi seperti asalnya, seperti bahwa manusia terlahir kedunia ini
selamanya di sifati hidup selama belum ada bukti yang jelas bahwa dia sudah
meninggal.
D. Perbedaan pendapat tentang
hujiyyatul istishhab menurut ahli ushul
1. Jumhur
diantaranya : malikiyyah, hanabilah, sebagian besar syafi’iyyah, dan sebagian
hanafiyyah. Berpendapat bahwa istishhab sebagai hujjah secara mutlaq baik itu
nafyi atau itsbat.
2. sebagian
syafi’iyyah, sebagian besar hanabilah dan mutakallimin seperti husein
al-Bishri. Mereka berpendapat bahwa istishhab bukan hujjah secara mutlak baik
itu dalam nafyi atau itsbat.
Dr. Muhammad Bakar Ismail, Al-Qawaid
Al-Fiqhiyyah baina Al-Ashalah wa At-Taujih, Dar Al-Manar, Kairo, 1997.
3. para
pengikut hanafiyyah al-mu’ashir mereka berpendapat : bahwa istishhab sebagai
hujjah liddaf’I la lil itsbat.
4. al-Baqalani
berpendapat bahwa istishhab itu hujjah bagi mujtahid akan tetapi tidak boleh
digunakan dalam perkara yang di perdebatkan.
5. Abu
Ishaq menukil dari Imam Syafi’I berpendapat bahwa istishhab hanya boleh
dijadikan sebagai penguat dari dalil saja tidak untuk yang lainnya.
6. Abu
manshur al-Bagdadi dari sebagian syafi’iyyah berpendapat bahwa mustashhib jika
tujuannya melarang apa yang sebenarnya telah dilarang maka itu boleh, akan
tetapi bila tujuannya itsbat berbeda dengan pandangan orang yang memungkinkan
menggunakan istihhab al-hal dalam melarang maka apa yang di itsbatkannya itu
tidak sah ( salah ).
E. Kaidah-kaidah yang membangun
ishtishhab
1. الأصل
فى الأشياء الاباحة
Dalam firman Allah :
Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu
Maka bisa di ambil
sebuah kesimpulan bahwa setiap apa yang ada di muka ini pada asalnya adalah
boleh selama tidak ada dalil yang melarangnya.(QS. Al-Baqarah : 29)
2. الأصل بقاء ماكان على ماكان
Dalam Firman Allah
Swt. : dan Kami turunkan dari langit air yang sangat bersih.
Dalam sabda Nabi
Saw. :” sesunnguhnya air itu suci “
Air selamanya adalah
suci dan mensucikan selama belum ada yang merubah hakikat air tersebut.
3. اليقين لا يزول بالشك
Dari
Abi Hurairah Rasulullah Saw. Bersabda : Apabila salah seorang diantara
kamu merasakan sesuatu diperutnya maka dia ragu apakah keluar sesuatu atau
tidak, maka janganlah keluar meninggalkan mesjid sehingga terdengar suara, atau
keluar angin. ( HR. Muslim )
4. الأصل براءة الذمّة
Seseorang
mengadu bahwa fulan memiliki hutang kepadanya, kemudian fulan mengingkari
pengaduan tersebut, yang mengadu tidak bisa membuktikan bahwa fulan itu
memiliki hutang kepadanya, maka fulan tersebut terbebas dari hutang.
Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh
al-Islamy, Dar Al-Fikr, cetakan kedua, Damaskus-Syuria, 2004.
F. Aplikasi Ulama Fiqh dengan Istishhab
Ibnu Abi Laila ( 74-148 H)
Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila
Al-Anshari seorang Hakim dan Faqih di Kufah pada masa Umayyah sampai Abasiyah
beliau adalah orang yang berfatwa dengan ra’yu sebelum Abu Hanifah
Ibnu Qudamah meriwayatkan bahwasanya Abu
Laila berkata tidak ada zakat untuk madu dengan alasan tidak ada dalil yang
kuat yang menjelaskan wajibnya zakat madu. Dari sana kita mengetahuai metode
pendekatan yang dilakukan oleh Abu Laila adalah dengan cara ishtishhab yaitu
al-Bara`ah al-Ashliyah ( pada asalnya tidak ada hukum ) dalam menetapkan
menentukan suatu hukum maka selama tidak ada dalil shahih yang menerangkan
wajibnya zakat maka pada madu itu tetep tidak ada wajib zakat.
Abu Hanifah ( 81-150 H )
Imam al-Kurkhi dan al-Sarkhosy mengatakan
bahwa Abu Hanifah dan pengikutnya ( hanafiyah ) menjadikan sebuah qo’idah
sebagai rujukan yaitu ” ma Tsabata bi al-Yaqin la Yazulu bi asy-Syak “
Suatu yang ditetepkan dengan yakin tidak bisa
hilang dengan suatu yang dirugukan.
Seperti yang diriwayatkan dari al-Kurdi :
dikisahkan salah seorang datang kepada Abu Hanifah kemudian dia bertanya kepada
Abu Hanifah : aku tidak tahu apakah aku sudah menolak istriku atau tidak ? maka
Abu Hanifah menjawab : kamu tidak men-talaq istri kamu sehingga, kamu
benar-benar yakin telah men-talaqnya.
Dan imam As-Sarkhosy meriwayatkan bahwa
imam Abu Hanifah berkata : barang siapa yang ragu apakah dia berhadats maka dia
memiliki wudhunya dan apabila ragu apakah punya wudlu atau tidak maka dia
adalah berhadats. Dari kedua contoh diatas menunjukan
bahwa imam Abu Hanifah mengamalkan kaidah al-Yakin la Yu’aridlu bi as-Syak
yang merupakan salah satu kaidah yang selaras dengan methode istishhab.
Dr. Quthub
Mushtafa Sanu, Mu’jam Musthalahat Ushul Fiqh, Dar al-Fiqr al-Mu’ashir,
Beirut, 2002.
Imam Malik ( 93-179 H )
Dalam kitab al-Mudawwanah dituliskan :
imam Malik berkata ” tidak boleh dibagikan harta warisan orang yang hilang
sehingga ada kabar tentang kematiannya atau setelah mencapai masa yang tidak
mungkin dia masih hidup, maka harta warisan itu dibagikan hari itu yang jadi
ditetapkannya bahwa dia sudah meninggal.
Dan imam Malik meriwayatkan sebuah hadits
Rasulullah Saw. : barang siapa ragu dalam jumlah raka’at shalat maka dia harus
menetapkan dengan yakin yaitu mengambil yang sedikit.
Akan tetapi kita mendapatkan bahwa imam
Malik dalam beberapa masalah beliau berfatwa berbeda dari apa yang telah di
tetapkannya dengan methode istishhab yaitu mengambil yang lebih kecil (sedikit
) Imam Sahnun meriwayatkan : aku bertanya ” kalau ada suami yang men-talaq
istrinya kemudian dia tidak tahu apakah dia men-talaqnya yang pertama, kedua
atau ketiga.Bagaimanakah pendapat malik ? imam Malik menjawab : tidak halal
baginya sehingga ada orang lain yang menikahinya terlebih dahulu. Dan pendapat ini bertentangan
dengan pendapat jumhur yang mengambil yang lebih kecil.
Imam Asy-Syafi’i (
150-204 H )
Imam
asy-Syafi’I pernah mengamalkan ishtishhab yaitu beliau pernah berkata : apabila
seseorang melakukan perjalanan dan dia membawa air maka dia ragu apakah sudah
ada najis yang tercambur dengan air tersebut dengan tidak yakin, maka air itu
tetap dalam kesuciannya. Dia boleh
berwudhu dan minum dari air tersebut sehingga dia yakin ada najis yang sudah
bercampur dengan air tersebut.
Dan
imam asy-Syafi’I pernah berkata : kalau seseorang ragu apakah keluar mani atau
tidak? Maka dia tidak wajib mandi
sehingga dia yakin, akan tetapi dalam menjaga kehati-hatian dianjurkan mandi.
Dr. As’ad Abdul Ghani as-Sayyid
al-Kafrawi, al-Istidlal ‘inda al-Ushulliyyin, Dar As-Salam, Kairo, 2005.
G. Contoh-contoh aplikasi istishhab
Kepemilikan dalam barang dengan cara yang
syar’i maka kepemilikan barang tersebut tidak akan berubah kecuali dengan
pemindahan kepemilikan barang secara syar’I pula baik itu dengan jual-beli,
hadiah atau diwariskan.
Apabila seseorang ragu ketika sahur di
bulan ramadhan apakah udah terbit fajar atau belum maka ambillah suatu yang
dianggap yakin maka ketika dia yakin bahwa telah terbit fajar maka tahanlah
dari makan dan minum.
Kasus seseorang hilang maka dia selamanya
di hukumi hidup apabila belum ada keterangan yang menyatakan bahwa dia telah
meninggal, maka status istrinya masih sah bagi orang yang hilang tersebut dan
tidak boleh membagikan harta warisan sebelum ada bukti yang menjelaskan
kematiaanya tersebut.
Ada seorang istri mengadu bahwa suaminya
telah mentalaqnya kemudian sang suami mengingkari pengakuan istrinya, sang
istri tidak bisa membuktikan bahwa suaminya telah mentalaqnya maka pernikahan
mereka masih sah karena asal adalah tetap sahnya pernikahan.
jika seseorang tawaf di baitullah dia
tidak tahu sudah sempurna atau belum, maka sempurnakanlah apabila merasa masih
belum sempurna.
Malikiyyah berpendapat barang siapa yang
punya wudhu kemudian di ragu dia berhadats, maka dia harus mengulang wudhunya
sehingga tidak ada lagi keraguan dalam hatinya, karena ragu-ragu bisa
menghilangkan kekhusyuan shalat.
Ibnu Hajar Al-Asyqalani menjelaskan dalam
Fathu Al-Bari hadits dari ‘Ibadudin bin tamim al-mutaqaddimah meriwayatkan dari
Malik sebagai bantahan secara mutlak ( diriwayatkan dari Malik : bahwa
menentukan berhadats atau tidaknya ialah ketika diluar shalat bukan ketika
shalat. )
Ibnu Qayyim al-Jauzy, ‘Ilam
al-Muqi’in, Dar al-Hadits, Kairo, 2004.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Imam al-Khawarizmy berkata : Ishtishhab adalah
akhir cara untuk membuat fatwa, jika mufti ditanya tentang hukum dari perkara
yang baru, maka mufti mencari hukumnya pertama dari al-quran, as-Sunnah, ijma’,
kemudian qiyas. Maka jika tidak ada dalil yang dia mengambil hukumnya dengan
istishhab al-hal dalam melarang atau menetapkan, maka jika berselisih dalam
ketiadaan maka pada asalnya adalah ada, dan jika berselisih dalam ada atau
tidak maka asalnya tidak ada.
hanafiyyah dan malikiyyah menjadikan istishhab liddaf’I
la lil isbat yaitu dalil dalam menetapkan sesuatu yang pada asalnya sudah
ditetapkan dan bukan menjadi hujah menetapkan sesuatu perkara yang belum ada.
Sedangkan syafi’iyyah dan hanabilah berpendapat bahwa istishhab itu hujjah
liddaf’I wa lil istbat yaitu menetapkan hukum yang pada sudah ditetapkan
pada awalnya kemudian menetapkannya seolah-olah dengan dalil baru.
Dari uraian-uraian tentang Istishhab di atas maka
penulis berpendapat bahwa istishhab bisa di jadikan sebagai salah satu methode
dalam mencari sebuah hukum setelah merujuk terlebih dahulu pada al-quran,
as-sunnah, maka jika tidak ada dalil yang menunjukan secara detail maka methode
ishtishhab bisa di lakukan.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami penulis susun untuk
memenuhi salah satu tugas kuliah Jurusan Pendidikan Agama Islam semester III
pada mata kuliah Ushul Fiqih. Apabila dalam penulisan makalah ini terdapat
kekurangan, kami penulis meminta kepada pembaca umumnya dan khususnya kepada
bapak dosen mata kuliah Ushul Fiqih ini untuk memberikan saran dan kritik yang
membangun untuk makalah ini. Mudah-mudahan Allah Swt senantiasa memberkahi kita
semua. Amin ya Rabbal ‘Alamin.
DAFTAR PUSTAKA :
DAFTAR PUSTAKA :
1.
Al-Quran
dan Terjemahnya, Majma
malik Fahd li at-Thiba’ah al-Mushhaf asy-Syarif, Madinah Munawwarah, 1990.
2. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Dar Al-Fikr
Al-’Arabi, Kairo.
3. Dr.
Muhammad Baltaji, Manahij at-Tasri’ al-Islami fi al-Qorni ats-Tsani al-Hijry,
Maktabah al-Balad al-Amin, Kairo, 2000.
4. Dr. Muhammad Bakar Ismail, Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah baina
Al-Ashalah wa At-Taujih, Dar Al-Manar, Kairo, 1997.
5. Dr.
Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh al-Islamy, Dar Al-Fikr, cetakan kedua,
Damaskus-Syuria, 2004.
6. Dr.
Quthub Mushtafa Sanu, Mu’jam Musthalahat Ushul Fiqh, Dar al-Fiqr
al-Mu’ashir, Beirut,
2002.
7. Dr.
As’ad Abdul Ghani as-Sayyid al-Kafrawi, al-Istidlal ‘inda al-Ushulliyyin,
Dar As-Salam, Kairo, 2005.
8. Ibnu
Qayyim al-Jauzy, ‘Ilam al-Muqi’in, Dar al-Hadits, Kairo, 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar